Kol Buntung

Pernah naik kol buntung?
Naik di sini maksudnya duduk di belakangnya itu lho.

Pasti semuanya pernah merasakan angin sepoi-sepoi saat duduk di sana sambil mobil melaju kencang.

Ya, saya pun pernah beberapa kali. Saat kecil, ketika seusai pulang sekolah agama di sore hari dan kami—saya dan teman-teman—tidak punya ongkos untuk naik delman atau ojeg, kami biasa naik, ehm, tepatnya ‘nebeng’ kol buntung yang biasa mengangkut beras ke pasar, lalu kami ‘bertengger’ di atas karung-karung beras yang bertumpuk, dan saat itu tumpukan karung berasnya tampak sangat tinggi, sehingga kami bisa asyik melihat jalanan dari ‘atas’ sambil berpegangan erat karena takut jatuh. 

Pun kemarin, saat usia saya menginjak tingkat 4 kuliah, saya berkesempatan menikmati asyiknya ‘nebeng’ kol buntung lagi. 

UKM BAQI (Unit Kegiatan Mahasiswa BelAjar Quran Intensif) tempat saya berorganisasi secara perdana mengadakan pengabdian pada masyarakat dengan nama kegiatan ‘Kampung Quran’, di kegiatan ini kami berusaha sebisa mungkin menghidupkan nuansa Qurani di sebuah desa, dengan Tabligh Akbar, dengan lomba-lomba Quran, dengan Pesantren Quran. Meskipun hanya berlangsung selama 3 hari di akhir pekan saja, kami merasa kegiatan ini sangat menyenangkan sampai-sampai 3 hari itu menurut kami sangatlah kurang (rekomendasi untuk tahun depan jadi 1 bulan, atau minimal 2 minggu). Dan desa yang terpilih untuk secara perdana kami mengabdi adalah Desa Eul-Eul, sebuah Desa kecil nan asri di Ciwidey. Pemandangan indah, sawah menghampar bagai permadani untuk Gunung melangkah—kalau ia punya kaki—udara sangat sejuk, di malam harinya 1 lapis selimut tebal tidak cukup untuk membuat tubuh kita hangat. Lebih dari itu, kehangatan masyarakatnya terhadap kami, keceriaan anak-anak, dan hangatnya bala-bala (bakwan) di pagi hari bisa kami nikmati dengan segelas susu hangat (nggak mecing sih, haa) di warung depan posko kami. 

Btw, saya tidak akan menceritakan kegiatan ini dari awal hingga akhir, yang jelas meski saya hanya bisa mengikuti kegiatan 1 hari saja, saya merasa bersyukur bisa membantu teman-teman saya. Kegiatannya berlangsung dari hari Jum’at-Ahad, 28-30 September 2012. Saya berangkat Jum’at sorenya di kloter ke-2, hingga tiba di tempat jam 8 malam. Di hari Sabtunya, saya bergerak jadi panitia tambahan di kegiatan lomba dan penyuluhan. Namun karena di hari Ahad paginya saya harus menutor di Tutorial UPI—mentoring : itu lho, kegiatan sharing ilmu agama Islam dengan duduk melingkar yang asik abis—saya dan 2 teman saya yang lain memutuskan untuk kembali ke UPI Sabtu sore. 

Informasi yang kami dapatkan dari penduduk sekitar, kalau ingin ke Bandung kota, biasanya suka ada mikrolet atau L300 yang lewat sesekali. Pagi hari jam 6, saat penduduk ke pasar, dan sore hari—cenah. Berbekal kepercayaan akan informasi tersebut, kami akhirnya pamit untuk pulang duluan setelah sebelumnya dihalang-halangi karena khawatir. Khawatir karena saat itu sudah sore, sehingga otomatis kami akan sampai malam hari. Khawatir karena kami bertiga akhwat—perempuan—dan kami tidak tahu jelas rute yang harus kami tempuh untuk mencapai UPI. Kekhawatiran ini kandas setelah kami berusaha meyakinkan insya Allah tidak apa-apa. Kami yakin. 

Oke, pada akhirnya kami menunggu kendaraan umum lewat di pinggir jalan. Satu, dua, tiga mobil lewat, tapi semuanya mobil pribadi. Dan setelahnya banyak sekali truk besar yang lewat. Setelah digoda abis-abisan oleh tukang ojeg sekitar—untuk naik ojeg—kami terpaksa menghindar dengan berjalan kaki sejauh yang kami bisa. Namun berjalan kaki sambil membawa ransel bukanlah hal yang mudah. Oke, kita punya jempol, gimana kalau kita nyetop mobil yang lewat aja?—pikiran usil ini nyembul di tengah keputus asaan, mau balik lagi kan malu ya, hehe. 

Dan, tanpa distop, ada truk besar yang berhenti menawarkan tumpangan. Karena isinya anak muda yang cengengesan semua, kami menolak dengan gelengan kepala tanpa bicara. “Ah, kalau ada kol buntung lewat, kita nebeng aja ya,” usulku sambil sesekali melihat ke arah belakang kami mengincar kol buntung yang lewat. Benar saja, tak lama setelah doa pasrah itu terucap, dari kejauhan tampak kol buntung berwarna abu-abu. Salah satu temanku yang malu menyetop secara terang-terangan, berpura-pura menunjuk ke arah kebun teh yang memang terhampar sepanjang jalan, “Ih, lihat, bagus ya..” tunjuknya ke kebun teh di seberang kami. Otomatis tangannya mengangkat seperti layaknya orang yang menyetop kendaraan.

Alhasil kol buntung itu berhenti.

Temanku yang agak panik bingung harus melakukan apa lagi memaksaku untuk berlari-lari kecil menghampiri kol buntung itu.

“Ng, anu pak, saya teh mau ke Bandung, boleh numpang?” (aslinya saya menggunakan bahasa sunda yang amat halus), meski agak sedikit terkejut karena dua orang bapak-bapak yang berada di kol buntung tersebut ternyata ehm, agak terlihat sangar (pekerja keras mungkin ya), saya memyakinkan diri insya Allah ini semua baik.

“Oh, bapak antar aja ke Ciwidey atuh ya, ntar neng dari sana ke leuwi panjang,” suara bapak itu terdengar ramah, sambil membantu kami menaikkan ransel, ia bertanya kami dari mana dan habis ada kegiatan apa.

Dari sinilah perjalanan yang di luar bayangan dimulai. 3 orang akhwat, naik kol buntung di belakang, pakaian agak lusuh (maklum, habis berkegiatan dan jalan kaki, haa), naik kol buntung tak dikenal. Alasan yang cukup untuk membuat kami jadi sorotan bagi orang-orang yang nongkrong di pinggriran jalan. Bahkan ada anak yang usil melempari kami dengan kerikil (sepertinya sedang manasik haji—lempar jumroh).

Singkat cerita, meski dengan was-was takutnya kami malah dijual di pasar#pede abis, kami sampai di terminal Ciwidey dengan selamat dan membeku karena dinginnya udara jalanan Ciwidey.

Oh, bapak yang aku lupa menanyakan namanya, semoga kebaikanmu dibalas dengan sebaik-baiknya balasan dari-Nya.

Setelah membungkuk beberapa kali mengucap terima kasih dan mohon maaf kami tidak bisa membalas apa-apa, kami pamit pulang. Dari terminal ini perjalanan kami lancar dan tiba di kosan sekitar jam 8 malam. Alhamdulillah.

Hikmah :
Kita tidak akan pernah tahu muara usaha kita seperti apa. Jika itu kebaikan, maka berusahalah sebaik mungkin. Karena kebaikan tidak akan menghasilkan hal lain kecuali kebaikan lagi. Tanyakan hati, jika hati gelisah itu pertanda bahwa hal itu tidak baik. Tentu setiap harinya kita harus membasuh hati kita dengan iman, ibadah, dan amal. Agar hati menjadi bening dan mudah dibaca. wAllahu a‘lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Situs Download dan Baca Komik Gratis

Kotoba #2 ほっといて!  (Hottoite!)