Hari ini tentang Angkot

Tidak seperti kebanyakan film buatan manusia yang selalu bisa ditebak akhirnya,
Sebagai Sang Sutradara-Produser-Direktur, Allah selalu menjadikan hari-hari tak selalu sama dengan tebakan di akhirnya

Foto di daerah Jebrod, Cianjur :D
Selalu ada yang menarik dari perjalanan sederhana saya ke kantor PKPU di Surapati Core. Dari kampus hanya dengan 1 kali naik angkot Caheum-Ledeng saya bisa tiba di Surapati Core setelah membayar lima ribu rupiah dengan waktu tempuh 1 jam. Perjalanan sebelumnya, saya sempat diturunkan paksa saat angkot sudah mencapai Cikutra, kesal memang, tapi sang supir berbaik hati mengurangi beban ongkos saya (hehe). Lalu sepulang dari sana, saya naik angkot yang rupanya sang supir sedang membawa serta istri dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil. Jadilah saya serasa menonton keluarga cemara versi angkot :)
Lalu hari ini, baik saat perjalanan pergi dan pulang, banyak hal menarik yang terjadi di dalam angkot.

Pergi     : Ada yang Hilang
Diawali dengan panasnya udara di dalam angkot yang sedang ngetem di panorama, ada 3 orang mahasiswi naik setelah saya. Sambil menunggu angkot berangkat, mereka tak jarang mengecek smartphone mereka, entah kenapa saat itu saya begitu tertarik untuk memperhatikan smartphone yang mereka pegang (berhubung dalam angkot semua penumpang pada fokus dengan Hpnya, sementara saya makan batagor di pojok belakang, hehe).

Setelah 10 menit perjalanan, kantuk menyerang mata, memaksa saya untuk membenamkan kepala saya di atas tas.
Tidur saya cukup nyaman, hingga ada keributan kecil di dalam angkot. Seorang bapak-bapak yang duduk di tengah meringis kesakitan karena kakinya kram. Sambil mengaduh, dia pindah duduk ke bangku seberang di mana 3 mahasiswi yang saya ceritakan di awal tadi duduk. Reflek, seorang muslimah berpenampilan guru di samping saya lantas menarik salah satu mahasiswi tersebut untuk segera menghindar dari bapak itu.
Saya yang setengah linglung pun akhirnya menarik mahasiswi tersebut untuk tidak dekat-dekat dengan bapak itu, sementara penumpang yang lain mencoba menenangkan bapak itu. Anehnya, (dan sumpah saya kesal abis, kalau bukan tempat publik mungkin saya *maaf* banting tas saya ke tangan bapak itu) karena si bapak terus saja memegang tangan mahasiswi ini (selanjutnya saya sebut mahasiswi ini ‘Ani’ untuk memudahkan pembaca).
Bapak ini terus memegang tangan Ani yang mencoba berpindah tempat duduk untuk menghindari si Bapak.
“Nggak apa-apa neng, duduk saja di sini,” ujar si Bapak.
Muslimah di samping saya tidak melepaskan pegangannya terhadap Ani sambil berbisik, “Jangan teh. Di sini aja.”
Selanjutnya bisa ditebak, si Bapak yang kakinya kram ini lalu minta turun dari angkot. Ajaibnya, kakinya langsung sembuh!
Muslimah di samping saya langsung berbisik pada Ani untuk mengecek barang-barangnya. Selagi kami membantunya mengecek barang, ada satu orang bapak lagi yang turun tak lama setelah itu.
HP Ani hilang.
Dompet ada, tapi hpnya hilang. Padahal Hpnya sudah diamankan ke dalam tas, tapi bisa hilang di waktu sesingkat itu.
Dari situ saya beristighfar sebanyak mungkin, karena ketika kepanikan tadi, mata saya tidak hentinya mengawasi gerakan bapak yang kram itu, tapi tidak ada gerakan yang mencurigakan.
Mereka berkomplot? Mereka menggunakan hipnotis? wAllahu a’lam..

Pulang  : Kursi Istimewa Sesaat
Setelah menyelesaikan urusan, saya langsung pulang lagi ke Ledeng. Beruntung, angkot yang saya stop kursi depannya kosong. Sekali-sekali saya ingin duduk sendirian di depan, menatap bangunan di sepanjang jalan tanpa kepanasan karena angin dari jendela yang terbuka cukup besar, dan tidak harus risih-risih berdempetan duduk dengan penumpang pria. Sang supir tersenyum ramah begitu saya meminta izin untuk duduk di depan. Usianya seumuran bapak saya, wajahnya memang sangar dan sempat membuat saya berpikir di awal untuk pindah saja ke belakang. Tapi, bapak supir ini tidak mengajak ngobrol seperti kebanyakan supir yang saya perhatikan sebelum-sebelumnya, bapak ini dengan pelan melantunkan lagu sunda islami yang biasa didendangkan di masjid-masjid pedesaan. Tak lama setelah itu, dia mengeluarkan Hpnya, dan terkejutlah saya begitu mengalir bacaan taawudz yang disusul oleh At-Takwiir keluar dari speaker Hpnya. Memang bukan bacaan Mishary Alafasy atau Ghamidi, murattal yang diputar pun khas yang biasa diputar di masjid-masjid pedesaan.
Tapi ini lebih baik daripada musik-musik yang bikin sakit kepala, hehe.
Sayangnya, setelah melewati Balubur, ban angkot kempes. Bapak supir ini tidak banyak mengeluh, langsung sigap meminta penumpangnya turun untuk mengganti angkot. Merasa sudah diberi fasilitas yang layak, saya berniat melebihkan ongkos saya menjadi 3000 rupiah.
“2000 aja teh,” tolak supir tersebut sambil tersenyum ramah.
Kapan ya saya bisa nemu angkot kayak gini lagi?
Jadi kepikiran buat jadi juragan angkot dengan fasilitas full murattal, hehe.
---

Yup, sekian kisah sederhana saya di perjalanan hari ini. Happy holiday untuk guru-guru praktik PPL yang libur UN! hehe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Situs Download dan Baca Komik Gratis

Kotoba #2 ほっといて!  (Hottoite!)