My Day #16: Bicara Cinta (lagi)
Menyambung dengan
definisi cinta versi saya di tulisan kemarin, rasanya akan bisa dipahami lewat
kisah cinta melegenda Fatimah dan Ali. Cerita cinta mereka rasa-rasanya membuat
yakin orang-orang yang menyimpan rapat dalam-dalam rasa cintanya kepada seseorang
bahwa pada akhirnya usaha mereka akan berbuah manis.
Dikisahkan
keponakan Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib memendam rasa cintanya kepada
sepupunya sendiri, Fatimah binti Rasulullah. Rasa cintanya ini tak pernah ia
ungkapkan kepada siapapun, hingga ia memutuskan akan meminang langsung Fatimah
sebagai istrinya di saat yang tepat.
Namun, ujian bagi
cintanya sudah dimulai ketika terdengar olehnya bahwa Abu Bakar Ash-Shidiq,
sahabat Rasulullah yang keimanannya lebih berat dibandingkan keimanan ummat
muslim jika disatukan, datang melamar putri Rasulullah tersebut. Ah, dibanding
Abu Bakar, ia tentu tidak ada apa-apanya. Jadilah untuk sesaat ia merelakan
dalam hati, mundur dari arena pertarungan, melesatkan ikhlas untuk Fatimah
bersanding dengan Abu Bakar kelak. Meski sesungguhnya hatinya tersayat dan
bersedih.
Tapi betapa
herannya dia ketika mendengar bahwa pinangan Abu Bakar ditolak oleh Rasulullah
SAW. Sebuah harapan kembali mekar, ia akan melamar Fatimah. Ia akan menjaga
rasa cintanya ini dengan meminang Fatimah. Ia tidak mau lagi didahului oleh
yang lain.
Ujian rupanya
datang lagi. Kali ini Umar bin Khattab sang pemberani yang datang kepada
Rasulullah SAW untuk meminta Fatimah menjadi istrinya. Hati Ali kembali luka.
Umar yang dengan keislamannya mengubah dakwah Rasulullah yang asalnya
sembunyi-sembunyi menjadi terang-terangan. Jelas Umar lebih banyak jasa
dibanding dirinya.
Tiba-tiba Abu Bakar mendatangi Ali, memberi kabar bahwa pinangan Umar pun telah
ditolak dan Rasulullah kini menunggu Ali datang menemuinya. Untuk menikahkan
dia dengan Fatimah. Ya, menikahkannya! Harapan yang berujung kebahagiaan yang
luar biasa.
Rupanya Rasulullah tahu bahwa sedari dahulu Ali mencintai Fatimah. Maka hanya
dengan mahar baju besi, Fatimah telah halal untuknya. Dikisahkan setelah
menikah, Fatimah bercerita soal pria idaman yang dari dahulu ia cintai kepada
Ali. "Aku merasa harus jujur, wahai suamiku. Aku benar-benar mencintai
pria ini. Namun kini engkaulah yang menjadi suamiku, dan aku benar-benar mencintaimu."
Mendengar pengakuan
Fatimah, seketika Ali langsung gundah, dengan sedikit rasa sesak di dada, ia
berkata kepada Fatimah, "Wahai Fatimah, aku tahu bagaimana rasanya menahan
perasaan cinta. Oleh karena itu aku ikhlas jika engkau bercerai denganku dan menikah
dengannya."
Fatimah menggeleng, "Tidak wahai suamiku, aku benar-benar
mencintaimu."
Bagaimana bisa Fatimah mencintai dirinya sedangkan Fatimah telah jatuh cinta
kepada lelaki itu sudah sejak lama? batin Ali, hingga ia mengulang
perkataannya, "Aku rela wahai Fatimah. Jika engkau mencintai lelaki itu
dan lelaki itu pun cinta kepadamu, aku rela."
Air mata Fatimah
perlahan menggenang, sambil tersenyum ia berkata lembut, "Tidak wahai
suamiku. Karena pria itu kini sudah memiliki istri.."
Ali agak sedikit
heran, bagaimana bisa Fatimah mencintai lelaki yang sudah beristri?
Melihat raut wajah keheranan suaminya, Fatimah melanjutkan kalimatnya,
"…karena pria itu baru saja menikah, dan kini pria itu ada di
hadapanku..."
---
Ah, rasanya tak perlu dibahas bagaimana perasaan Ali setelah itu. Meriah
membuncah bahagia.
Lewat kisah ini, Allah seakan ingin memberi hikmah begitu jelasnya perbedaan
antara cinta sejati versus hawa nafsu. Cinta yang dimiliki Ali, jelas ia cinta
yang murni. Kebahagiaan Fatimah baginya berada di atas cintanya kepada Fatimah.
Jika nafsu, maka ia mungkin lebih memilih kebahagiaan dirinya sendiri dibanding
kebahagiaan sang pujaan hati :)
Bagi saya kisah ini menyiratkan perasaan cinta itu lebih mulia dibanding hawa
nafsu. Itu yang membedakan kita dengan binatang yang sama-sama memiliki nafsu.
Perasaan cinta yang berlandaskan keimanan kepada Sang Pemilik Cinta: Allah,
sehingga tidak ada yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan. Cinta karena
Allah akan selalu bertepuk, karena di ujung yang lain, Allahlah yang membalas tepukan
cintamu.
Udah ah, bahas yang ginian bikin geli malu-malu gimana gitu. Haha.
Komentar
Posting Komentar