Asal Kata Pemilu = Pilu?

Pemaparan agak aneh soal pemilu.

Second opinion itu ternyata penting. Setelah nonton TV Series Sherlock Holmes, saya menyadari hal itu. Bahwa justru pendapat Watson, asistennya yang mengantar Sherlock ke inti penyelesaian sebuah kasus. Teori unik lainnya tentang opini pernah saya dapat juga dari Film The War of the World: “The Tenth Man Opinion.” Hadoh, ada-ada aja sih, tapi masuk di akal juga dan menarik untuk dicoba. Teorinya seperti ini, jika dari 10 orang 9 orang berpendapat sama sedangkan hanya satu orang yang berbeda, maka justru pendapat yang harus diberi perhatian lebih adalah pendapat yang berbeda tersebut, pendapat orang ke-sepuluh.

Oke, prolognya seperti itu. Nggak ada hubungannya sih sama apa yang ingin saya sampaikan berikut ini. Anggap aja itu pemaparan saya bahwa segala kemungkinan bisa terjadi dan sering itu diluar kendali kita sebagai manusia. Manusia selalu belajar bagaimana cara membuat rencana sesempurna mungkin hingga ke teknis, tapi jarang ada yang belajar bagaimana caranya menghadapi ‘kenyataan’.

Tema yang saya ambil di tulisan kali ini cukup berat dan nggak saya banget. Secara saya lebih suka diam di pojokan, ngegambar, rebutan ayunan sama anak kecil, atau bacain buku cerita. Cuma beranda facebook saya bikin saya ngeri. Mendadak sepertinya Indonesia hanya terbagi menjadi dua kubu dan kalau digambarkan secara visual, dua kubu ini seperti saling sedang melempar bom sambil ngumpet di balik tembok. Saya dan rakyat lainnya yang non-kubu*halah, cuma bisa nonton dan geleng-geleng, “Ini pada ngapain..”

Kampanye capres itu kayak yang jualan. Sebutkan kelebihan anda dibanding yang lain, tanpa menjelek-jelekkan yang lain, dengan itu nilai jual anda akan meningkat (ini bos saya yang pernah bilang, hehe copas). “Ibu, beli mangganya jangan di situ. Pada busuk, ngambilnya juga pas udah jatuh dari pohon. Mending beli di saya, sebelum jatuh udah saya petik.”

Euh. Apa sebegitu takutnya dia mangganya tidak akan terbeli??

Pemilu kali ini saya benar-benar sulit untuk memilih. Kalau benar rakyat diberikan fungsi seutuhnya untuk memilih calon pemimpin, kenapa tiba-tiba calonnya kali ini cuma ada dua pasang? Oh maaf, saya hanya orang awam yang nggak tahu dengan jelas proses verifikasi, cek kesehatan, persenan suara saat pemilu legislatif kemarin ternyata bisa memangkas calon-calon yang sempat show up, pede bakal jadi capres, curi start kampanye, eh sekarang malah nggak ada. Apa proses verifikasinya tidak bisa dilanjutkan saja sehingga hanya menyisakan satu capres? Ya sekalian aja gitu, mbok. Pake disisain dua segala, kan saya jadi bingung milih. Hehe. Kalau kata temen saya, pemilu kali ini ‘nggak asik’.

Berhubung keduanya saya belum kenal jelas, karena riwayat hidupnya terekam oleh media tidak dalam waktu yang bersifat continous

Mulai dengan calon nomor dua (kita mundur ya..haha). Ya, saya ‘dengar’ Jokowi  dulu walikota Solo, lalu ‘tiba-tiba’ mencalonkan diri menjadi Gubernur Jakarta pasca booming mobil Esemka. Lalu ‘tiba-tiba’ mencalonkan diri menjadi capres. Waduh, hebat ya ini bapak, saya salut atas keberanian beliau mengemban amanah. Kalau ada yang namanya Presiden Dunia, atau Presiden Asia Tenggara dulu lah, dengan rekam jejak beliau, saya yakin beliau akan mengajukan diri juga jika terpilih jadi Presiden Indonesia. Di mana ada kekuasaan yang lebih tinggi, di situ saya bertarung! –kesannya seperti itu. Di balik sosok sederhana, ada jiwa singa berani tersimpan di dada *tsahh.

Apalagi calon nomor satu. Siapa itu? Prabowo. Duh, saya baru tahu nama beliau tahun-tahun kemarin. Ya sama saja dengan Jokowi sih. Saya hanya tahu beliau dari Gerindra. Udah, gitu aja. Dan banyak orang-orang yang sudah hidup  menjadi dewasa di tahun 90an memiliki stigma negatif kepada beliau karena kasus penculikan yang mengakibatkan kerusuhan. Saya nggak ngalamin sih (masih unyu-unyu bingits), jadi kurang begitu tahu yang realnya seperti apa. Kemarin media juga sempat ramai bahwa Prabowo sudah akan diusung PDIP, tapi malah ‘dikhianati’ dengan  majunya Jokowi ke Pilpres. Ini kayak sinetron. 

Saya dengar dari sana-sini bahwa beliau itu orangnya berani, tegas, dan dibenci pihak asing karena beliau bertekad jika terpilih nanti akan mengembalikan aset-aset negara yang dimiliki asing dan menyelamatkan kekayaan negara yang ‘bocor’. Good idea, mister! Tempat saya bekerja adalah wilayah di mana asing yang menjadi dominasi perputaran ekonomi. Mereka rata-rata menjabat sebagi Presiden Direktur, sedangkan orang Indonesia? Oke, Presiden Direktur ada juga kok, jabatan orang Indonesia lengkap malahan, sampai ke teknisi mesin hingga supir pribadi.

Dari segi fisik, mungkin kebanyakan orang banyak yang menganut ‘dont judge a cover by a book’, yeah i know that. But i love a beautiful thing, karena Allah menyukai keindahan. Jokowi dan Prabowo sama-sama bukan tipe saya, haha. Tapi kalau ditanya, physically, saya suka tipe-tipe Umar bin Khattab. Gagah berani, banyak dibenci, ditakuti, syaithan aja takut sama beliau, gimana nggak bikin klepek-klepek coba. Lemah lembut juga ada kok dalam karakter Abu Bakr, tapi selera warna (sibghah) saya ‘keukeuh’ lebih memilih tipe-tipe Umar bin Khattab.

Dari segi backing, Jokowi murni didukung secara besar-besaran oleh PDIP, yang saya lihat selama ini yang memilih PDIP memang banyak orang keturunan Cina. Warga asli pribumi juga banyak, rata-rata di kampung seperti itu memang memilih partai ini. Alasan seperti ‘Karena keren ada bantengnya,’ ‘Suka aja karena warnanya merah,’ ‘Ya nggak tahu ya, Bu. Dari dulu milihnya ini. Mau gimana lagi,’ ini pernah saya dengar langsung face to face. Wah, kalau saya ditanya kenapa milih partai tertentu, semoga jawaban saya tidak sesederhana itu—just intermezzo. Nasdem juga melabuhkan hatinya di pasangan nomor 2, sehingga tak heran stasiun televisi yang dimiliki Nasdem juga lebih memilah berita untuk menaikkan pasangan nomor 2. Strategi ini diterapkan pula oleh stasiun televisi swasta lain yang dimiliki Golkar untuk menaikkan pamor pasangan nomor 1. Hah, mending nggak punya TV deh, karena kalau begini kita sulit untuk melihat dunia perpolitikan dari sudut pandang netral.

Selain oleh Golkar, nomor 1 didukung oleh banyak partai Islam. Ulama-ulama seperti Aa Gym, Ustad Arifin Ilham pun menyatakan mendukung nomor 1. 

Dari segi visi misi. Saya baru sempat satu kali menonton debat capres. Dan asli saya beneran nggak ngerti orang-orang intelek itu lagi pada ngomongin apa, haha. Ketika nonton debat, saya bertanya ke pada Allah, “Ya Rabb, ini beneran saya harus milih? Ilmu saya masih sedikit, jadi nggak tahu pasti yang mana di antara kedua calon yang terbaik untuk negara,” sambil ngurut-ngurut dahi.

Mau selevel apapun kekuasaannya, visi misi yang diajukan pasti bagus-bagus. Wong sudah dirembuk bareng tim ahli, ya pasti bagus lah. Saya udah nggak mau pikir panjang deh. Udah, pada bagus-bagus. Hanya memilih yang mana di antara keduanya yang paling tepat dengan kondisi Indonesia saat ini.

Itu mungkin pemaparan kecil-kecilan dari saya yang tidak memiliki ilmu politik dan mencoba memosisikan diri sebagai pihak yang netral—meski mungkin lebih condong ke salah satu karena berbagai pertimbangan. Saya tipe orang yang berprinsip segala sesuatu dalam kehidupan ini harus ada campur tangan agama. Sebagai Muslim, saya belajar soal bagaimana memilih pemimpin, bagaimana pemimpin Muslim di masa lalu, sehingga saya memutuskan pilihan saya berdasarkan itu. Bukan kepentingan pribadi. Karena da di dunia mah apa atuh da, cuma mampir doang, ngapain juga sampai jugkir balik pusing mikirin. Jadi sederhana saja, karena sudah tertulis di Al-Quran dan Hadits kalau begini maka harus begini begitu, ya saya ikuti saja. That’s simple.

Yang menarik justru setelah pemilu. Saya menantikan bagaimana Indonesia ini pasca terpilihnya presiden baru. Hwaa, soalnya tahun kemarin ketika saya masih mengajar di sekolah dan sempat menyaksikan pemilihan ketua OSIS di sana, suasananya persis seperti Indonesia sekarang. Ada dua kubu, kedua kubu berusaha saling menjatuhkan satu sama lain, dan ketika telah terpilih salah satu, maka kubu yang lain menyatakan boykot, enggan berpartisipasi dalam agenda kerja kubu yang memimpin. Semoga Indonesia nggak kayak gini ya, karena murid-murid yang saya ceritakan tadi usianya baru kelas 1 SMP, masak kedua kubu yang sedang bertarung sekarang ini sama secara psikis dengan anak-anak SMP tadi?

Siapapun Presiden terpilih nanti, semoga memiliki rakyat yang bijak, dewasa, dan siap terus bekerja untuk memajukan Indonesia. Jadi ingat cerita ketika Ali bin Abi Thalib ditanya oleh salah seorang rakyatnya, “Wahai Ali, kenapa saat pemerintahan Abu Bakr, Umar, Utsman, rakyat damai dan sejahtera sedangkan di maasa kepemimpinanmu banyak kerusuhan dan perdebatan?”

Jawaban Ali? “Karena ketika mereka memimpin, rakyatnya seperti aku. Dan ketika aku memimpin, rakyatnya seperti kamu.”

Wow, kualitas rakyat menurun seiring perubahan zaman. Yah, tidak bisa dipungkiri sifat sombong yang mengakibatkan itu semua. Bagaimana negara ini tidak hanya tergantung pada presiden saja. Tapi bagaimana juga rakyat secara individu secara sadar sebaiknya meningkatkan kualitas dirinya, baik dari segi akal, jasad, dan spiritual. Dan peningkatan itu bisa diraih oleh ilmu. Ilmu gampang kok didapat, cara paling sederhana adalah membaca. And do you remember what the first aayat that Allah tought to our Prophet? Yeah, IQRA!

Oke, sekian bahasan saya kali ini. Mikir politik buat perut saya lapar *ehh.

Gunakan hak pilihmu, jadi rakyat yang bijak, jangan sombong dan memilih tiduran di rumah, dewasa sedikit napa.

Notes:
Judulnya agak nggak nyambung, ya? Haha. Entah kenapa saya kemarin sempat mikir, “Eh, pemilu itu asal katanya ‘pilu’ apa, ya?” Dan setelah diingat-ingat...bukankah itu singkatan dari Pemilihan Umum? Forget it
Pukul --> Pe-mukul
Pilih --> Pe-milih
Pilu --> Pe-milu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Situs Download dan Baca Komik Gratis

Kotoba #2 ほっといて!  (Hottoite!)