My Day #17: Bagaimana kabar imanmu hari ini?

Sepanjang jalan dibonceng teman tadi sore memberikan waktu untuk saya berpikir. Berita Palestina menjadi penghias media sosial di hari-hari terakhir ini. Palestina tempat bayi-bayi terbunuh. Dalam sebuah surat dari Palestina untuk rakyat Indonesia disebutkan bahwa mereka heran terhadap bangsa Indonesia yang membunuh bayi-bayi mereka sendiri. Mayat bayi ditemukan di got atau dihanyutkan di sungai saya rasa di Indonesia kabar tersebut pernah mampir di telinga setiap orang. Di Palestina, setiap nyawa bayi berharga. Karena satu bayi berarti satu harapan untuk melanjutkan generasi. Satu bayi berarti satu prajurit tambahan untuk perang yang tak kunjung mati. Penulis surat tersebut heran, mengapa Indonesia yang mayoritas Muslim, menyia-nyiakan nyawa seperti itu?

Saya pun tak begitu mengerti, pada awalnya. Di sini soal iman, bukan intelektual yang berbicara. Pasti pernah dengar juga berita mengenai seorang ibu alumni universitas ternama yang membunuh ketiga anaknya dengan alasan: saya takut saya salah mendidik anak, lebih baik saya akhiri saja hidup mereka daripada dewasa nanti bersikap buruk.

Oh Ibu, Nabi Khidir pernah membunuh seorang anak karena beliau mendapatkan ilham dari Allah. Nabi Ibrahim menyembelih Ismail karena diperintah oleh Allah. Lalu anda? Membunuh anak sendiri karena ketika itu, akal anda merasionalkan apa yang anda lakukan.

Saat Pilpres, ada seorang teman yang menyindir, bahwa alasan saya memilih calon X sangat tidak rasional. Dan pilihannya mengenai calon Y sangat rasional dan lebih bisa dicerna akal pikiran. Ah, saya hanya manusia yang menganggap, apapun yang terjadi atas kehendak-Nya. Kepintaran seseorang pun, atas izinNya. Seseorang bisa mahir sesuatu, atas izinNya. Lalu ketika pilpres kemarin, alasan “Saya mengikuti para ulama, karena mayoritas ulama memilih beliau.” Bagi rekan saya ini sangat tidak rasional.

Jika kau mengambil segala sesuatu hanya karena rasional, jika kau Muslim, untuk apa kau shalat lima waktu? Untuk apa berpuasa 30 hari di bulan Ramadhan? Sebab, kenalan saya yang orang Jepang bergeleng-geleng kepala ketika tahu saya sahur hanya dengan kurma dan air putih. Dia menampakkan keheranannya ketika tahu saya ‘ibadah’ lima kali dalam sehari di waktu yang berbeda. Bahkan bertanya terus terang kenapa saya menutupi rambut saya dengan jilbab.

Karena baginya, ini semua tidak rasional. “Wakaranai,” ujarnya.

Padahal pada akhirnya, jika kita mentafakkuri segala yang Ia perintahkan, akal akan tunduk membenarkan. Shalat sangat baik untuk peredaran darah, dan ada manfaat lebih jika kita melaksanakannya di awal waktu, karena tubuh kita dan keadaan alam itu ternyata bersinergi. Lalu, buah kurma sudah tidak diragukan lagi manfaatnya untuk kesehatan tubuh. Dan jilbab, Alhamdulillah, bagi saya ini bentuk proteksi dini untuk wanita dari ancaman laki-laki, sekaligus penjagaan bagi laki-laki dari berbuat maksiat. Saya sangat merasakan manfaatnya setiap pulang kampung di mana saya harus berdesak-desakan di dalam bis, para pria di dalam bis seolah melindungi saya dari setiap desakan dan enggan mendekati apalagi menyentuh.

Iman, lalu mengetahui hikmahnya. Bertambah kecintaan, bertambah ketaatan. Sebut saja Iman itu adalah reaksi seharusnya yang kita lakukan dalam menghadapi hari. Saya kutip bahasa Salim A. Fillah mengenai Iman. Iman itu ketaatan, melampaui rasa suka dan tak suka, melampaui cinta dan benci. Secara rasional, pakai jilbab itu panas, bikin rambut kusam. Namun iman melampaui rasa suka dan tak suka. Maka saya berjilbab, lalu Allah menyajikan hikmahnya kemudian seperti sebuah kejutan, “Sebenarnya ini untuk dirimu sendiri pada akhirnya.”

Iman akan selalu beriringan dengan ilmu. Ilmu yang saya sebutkan di sini tidak lain adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Cukup. Tahu aturannya, taati, lalu tunggu kejutannya.

Dalam urusan menjemput jodoh pun, ehm, Iman harus selalu mendampingi. Dalam hadits disebutkan pilih pasangan paling utama harus karena agamanya. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa orang baik akan dipasangkan dengan orang baik lagi. Lha, istrinya Firaun piye? Dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya. Bagi Allah, Aisah pasti kuat menghadapi ujian sekaliber Firaun J Ikhtiar kita, berusaha menjadi baik agar dipertemukan dengan yang baik. Atau iman kita sudah setinggi Aisah hingga dipertemukan dengan Firaun.

Tulisan saya kali ini nampaknya agak sulit dicerna, karena Iman melampaui rasionalitas. Dari awal jika menetapkan diri sebagai Muslim, harus paham bahwa kita beriman kepada Allah yang memang dalam hadits disebutkan akal manusia tidak akan mampu menjangkaunya.

“Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, jangan sekali-kali kamu berpikir tentang Dzat Allah.” (HR. Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas)

Saya tak kuasa untuk tidak menangis ketika nonton cuplikan Hafidz Indonesia, saat Musa membacakan surat Al-Baqarah ayat 186 “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

“Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali" (QS Al-Baqarah: 285)

Sahabat, bagaimana kabar imanmu hari ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Situs Download dan Baca Komik Gratis

Kotoba #2 ほっといて!  (Hottoite!)