My Day #9 Nama aku, Sofi
Indahnya Ukhuwah
karena satu Iman
Kakiku kedinginan. Dibalut rok yang ujung-ujungnya basah menjadikan pakaian berfungsi murni sebagai penutup aurat, bukan pemberi kehangatan. Dengan setengah menggigil aku menatap masjid besar di sebelah kiri trotoar. Di tengah gemericik suara cipratan genangan air di jalanan, suara adzan maghrib mengalun indah menyebar di langit senja yang kelabu.
Karena sedang diberi jatah libur oleh-Nya untuk absen Shalat, aku sejenak memanjakan kakiku dengan meluruskannya di teras Masjid. Wajahku sumringah. Ah, akhirnya aku sampai ke sini juga. Dengan perasaan campur aduk antara tidak percaya dan bahagia sampai di sini, aku memandang sekitar halaman masjid, melihat orang yang datang untuk tahu di sebelah mana pintu masuknya. Rupanya di lantai dua.
Di Masjid ini setiap hari Selasa ba’da Maghrib ada Kajian rutin Tadabbur Al-Quran bersama Ustad Hanan At-Taki. Rekan-rekan seorganisasiku tidak henti-hentinya merekomendasikan kajian ini untuk diikuti. Tapi sayangnya, Masjid ini tidak dilewati angkutan umum. Lebih mudah dicapai dengan kendaraan pribadi, apalagi motor. Bagi akhwat yang belum bisa mengendarai motor sepertiku, kaki dan angkot adalah harapanku untuk pergi ke suatu tempat. Maka jadilah hari ini, dengan dua kali naik angkot plus jalan kaki sebentar aku tiba di sini.
“Namanya siapa?” sebuah suara kecil menyapaku yang sedang kebingungan celingak-celinguk ke dalam masjid ragu untuk masuk karena yang di dalam masih melaksanakan shalat. Seorang anak perempuan kecil berkerudung pink sekitar umur 3-4 tahun menghampiriku di pintu masuk.
Dengan setengah
tersenyum aku reflek bertanya balik, “Nggak shalat?”
“Namanya siapa?” dia
kembali bertanya sambil bergelayunan di pegangan tangga.
“Afi. A-fi.” Aku
mengulang-ngulang namaku sambil menunjuk pada diriku sendiri hingga ia bisa
mengulangnya, “A-fi.”
“Nama aku Sofi.” Ujarnya
sambil tidak berhenti bergelayunan di pegangan tangga.
Setelah perkenalan singkat itu, dia berhasil menguak daerah asalku, dengan apa aku sampai ke sini, hingga yoghurt yang kubawa tidak luput dari sasaran pertanyaannya.
“Bapaknya mana?”
“Lukanya kenapa?”
“Kalau ibunya mana?
“Ini apa?”
Dengan senang hati aku
menjawab pertanyaannya dengan bahasa yang sangat sederhana.
“Bapak teteh nggak di
sini. Rumahnya jauuhh.”
“Luka yang ini? Umminya
Sofi suka masak kan? Kan kalau masak pakai minyak tuh, nah minyaknya itu kena
tangan, jadinya gini..”
“Ibu teteh juga
rumahnya jauuhh dari sini.”
“Ini yoghurt. Suka
minum susu? Yang ini rasanya asemm.”
Ah, seandainya PPLku
tempatnya di TK, pasti aku awet muda, haa.
Tapi bukan itu yang
membuat judul tulisan ini bernuansa ukhuwah. Selama berbincang dengan Sofi, aku
sempat heran dengan anak kecil ini. Apa dia tidak takut padaku? Apa dia tidak
takut aku culik? Seandainya aku orang jahat, aku pasti akan membawa dia pergi
ke suatu tempat dan meminta uang tebusan kepada keluarganya ketika begitu tahu
Sofi ke sini dengan mobil bersama ayah, ibu, nenek, kakak, dan bibinya.
Apakah anak ini
dididik untuk akrab dengan siapapun?
Saat shalat berjamaah
selesai, Sofi sempat menunjukkan yang mana uminya padaku, “Itu, Umi yang pakai
kerudung hitam.” Lalu ibunya menoleh ke arahku sambil tersenyum. Hwaa.. apa aku
benar-benar terlihat tidak seperti orang jahat yang akan menculik anak?
Dari situ aku
merenung, seandainya seluruh Muslim di dunia, minimal di Indonesia saling
memercayai seperti ini, percaya dengan keyakinan yang sama pasti tidak akan
mencelakakan saudaranya, pasti ke manapun aku melangkah, di mana pun aku
tersesat, maka tidak ada tempat yang kusebut ‘asing’.
Karena di setiap
tempat ada saudara seiman.
Tidak ada tempat ‘asing’
selama di sana ada saudara seiman.
Tidak ada istilah ‘tersesat’
selama kita berjalan di tempat orang-orang beriman.
Maka lepas landaskan
rabithah dalam hati di tengah-tengah salam menyalam di setiap pertemuan. Rabb,
sesungguhnya Engkau tahu, bahwa hati ini telah berpadu, berhimpun dalam naungan
cinta-Mu, maka jadikanlah kami bersaudara selalu. Selamanya.
Komentar
Posting Komentar