Cerpenku #1 : Kakigori Part 1

Bismillah.

Well, cerpen ini dibuat di bulan Juni 2011, untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah (lupa lagi mata kuliah apa, haa). Berkisah tentang episode singkat yang menceritakan hubungan kakak-adik Fifi dan Ramzi yang sangat berjauhan kepribadiannya. Kakigori, es serut ala Jepang itu mirip sekali dengan kepribadian Ramzi, lalu Satria--rekan kerja Fifi-- mengungkapkan pendapatnya tentang Kakigori, sehingga Fifi bisa lebih menyayangi adiknya.

Kisah ringan dengan banyak percakapan, ah, entahlah aku membuatnya kilat diancam deadline pengumpulan :D

This is, KAKIGORI :) taste the sweeteness.

NB : banyak orang yang nggak percaya yang nulis cerpen aku. Cz ceritanya ngawur dan ada romantis-romantisnya*ehm.ehm

*Cerpen ini bakal diposting perbagian*
-------

KAKIGORI by Afie
Tokoh : Fifi, Ramzi, Satria, Penjual kakigori (cameo) dan Supir taksi dan Obaachan nya juga cameo :D
Setting : Di sebuah kota di Jepang, Bandara Narita

Part 1


Ketika kamu bilang aku sangat mengganggu,
maka kuputuskan untuk tidak bertemu kamu lagi.
Kamu senang kan, sekarang?
***
            Anoo...eki no baasu wa ...1
            “Ya, di sini bisa menunggu.”
            Eh? Indoneshiajin desu ka?2 Eh, maksudku, orang Indonesia juga?”
            Aku mendengus. Apa kau tak lihat aku mengenakan jilbab begini, batinku.
            “Haha, Fifi, apa kabar? Sudah lama ya, kita tidak bertemu,”
            “Memangnya seminggu yang lalu, 3 hari itu, kau anggap apa?”
Satria tersenyum, lalu duduk di sampingku sambil menyodorkan sekotak susu coklat dingin. Ya, aku benar-benar sedang haus.
“Lalu, bagaimana kabarmu?”
            “Wa’alaikumsalam,”
            “Eh, iya, Assalamu’alaikum, Fifi. Apa kabar?”
            “Baik.”
            “Judes amat sih,”
            Aku terdiam.
            “Mau ke mana?”
            “Narita.”
            “Jauh amat, mau pulang?”
            “Adikku datang.”
            “Eh? Ramzi? Kenapa tiba-tiba?”
            “Bukan urusanmu. Lagipula kenapa kau di sini? Tidak bekerja?” aku menoleh memandang wajahnya, lalu menyeruput lagi minumanku.
            “Bukan urusanmu.”
            Hih, membuat bibirku maju 2 senti. Satria malah tertawa, “Mr. Nagasaki menyuruhku untuk keluar mencari angin segar dulu,”
            “Kau dipecat?”
            “Tidak. Aih, kau ini. Mengapa kesimpulanmu buruk seperti itu? Aku hanya sangat tidak berkonsentrasi saat rapat tadi,”
            “Kenapa? Kau sedang sakit?”
            “Bukan,” ia meneguk cola-nya, lalu menoleh padaku, “Aku memikirkanmu.”
            “Cih,” aku memalingkan wajahku.
            “Kau ini...kenapa sikapmu selalu begitu padaku? kalau begitu terus, tidak akan ada yang mau menikahimu,” sekarang giliran Satria yang mendengus.
            “Lalu, kau? Kenapa melamarku?” aku memandang wajahnya dengan senyuman yang sinis.
            “Ah. Maksudku, aku belum selesai bicara tadi, tidak akan ada yang mau menikahimu, selain aku...,”
            “Lagipula kau tolak satu-satunya pria yang mau melamarmu ini,” sambungnya kemudian dengan wajah kesal.
            Tanpa menghiraukan kata-katanya, aku memandang ke seberang jalan, lalu ke sekitarku. Mengapa sepi sekali di sini? Di halte ini pun hanya ada 3 orang lain selain aku dan Satria.
            “Wajar kalau sepi, ini jam kerja,” Satria tersenyum, seolah-olah bisa membaca pikiranku.
            Kalau begini, aku bisa terlambat, pikirku. Aku berdiri, mencari taksi.
            “Aku ikut,” Satria ikut-ikutan berdiri di sampingku. “Sebentar lagi bisnya sampai, kok,” ia tersenyum kepadaku.
            “Kau ini,” aku melotot padanya. “Kau pikir kau sedang liburan, apa? Kau harus kembali bekerja.”
            “Terserah aku saja,” ia masih saja senyum-senyum, “Lagipula aku ikut karena ingin bertemu adikmu, bukan karena kau. Zi punya hutang padaku 50.000 rupiah saat masih di Indonesia.”
            Aku mengeluarkan dompetku. Mengambil selembar uang 50.000-an, lalu menyodorkannya pada Satria, “Ini. Kubayarkan sekarang, jadi kau tidak usah ikut,” ucapku. Satria tersenyum mengambil uang di tanganku, lalu kusambung,”Dan ini,” aku mengeluarkan uang 10.000 rupiah, “Bonus untukmu,” Satria mengambilnya, “Tapi...,” ujarnya.
            “Kenapa? Apa masih kurang bonusnya?”
            “Bukan begitu, tadi aku belum selesai bicara,”
            “Apa?”
            “Hutang adikmu selain itu, ada yang 100.000, waktu dia kurang uang buat SPP,”
            Orang ini. Aku menarik uang 60.000 di tangannya, “Cuma ini uang Indonesia yang kupunya! dasar lintah daratt,” gerutuku.
            “Jangan begitu, aku benar-benar ingin bertemu adikmu, jadi aku boleh ikut kan, nona?”
            Aku masih diam karena kesal. Mengapa di saat seperti ini harus bertemu orang macam dia? Sudah cukup berat aku akan adikku, mengapa harus ditambah dengan orang ini??
            “Ok, diam tandanya setuju,” ia tertawa cengengesan.
            Bis yang kutunggu akhirnya datang. Aku kembali menelan ludah saat melihat kursi yang tersisa, lebih buruk daripada penuh. Hanya tinggal tersisa 2 kursi di pojok kiri. Aku buru-buru duduk di paling pojok. “Kau, berdiri,” ucapku pada Satria, ketika dia hendak duduk.
            “Tega sekali kau padaku. Biarkan aku duduk, tidak ada kursi lagi,”
            “Tidak. Kau berdiri,” tegasku.
            Tanpa mendengar ucapanku, Satria langsung duduk, “Ah, nyaman sekali.”
            Aku berdiri, “Minggir, aku mau ke tengah,”
            “Kau...cepat duduk, nanti jatuh.”
            “Tidak mau.”
            “Masak kamu mau berdiri sampai bandara?”
            “Apa pedulimu?”
            “Tentu saja aku peduli. Cepat duduk,”
            “Tidak mau. Minggir,”
            “Kau...,” tiba-tiba Satria menarik lenganku, sehingga aku kembali terduduk.
           “Berani-beraninya kau menyentuh lenganku, kau ini,” aku membersihkan pegelanganku. “Ah..bagaimana bisa begini,” keluhku.
            “Tidak bisakah kalian diam?! Kalian berdua terlalu ribut!” seorang Obaasan (nenek) yang kursinya di depan kami menoleh ke belakang dengan mata melotot dan dengan bahasa Jepang yang agak kolot dia berkata,”Kalian baru saja menikah, kan? Tidak baik jika sering bertengkar,” celotehnya.
            “Iya nek, maafkan kami,” Satria mengangguk-ngangguk meminta maaf.
            “Dasar pasangan muda zaman sekarang. Lihat istrimu itu, dia tampaknya kelelahan, beri ia minuman atau sejenisnya. Nanti dia pingsan di jalan,” obaasan itu masih mendumel.
            Hai, sumimasen, sumimasen,” Satria mengangguk-ngangguk meminta maaf sekali lagi.
            Aku tertawa ditahan. “Pfft, apa maksudmu dengan ‘hai’?”
            “Sst..nanti kita dimarahi lagi. Ck, kau bahagia sekali ya, padahal ini semua salahmu. Mengapa aku yang kena marah?” bisiknya.
            “Salahmu, kenapa kau ikut?”
            Satria tersenyum, memandangku yang masih menahan tawa.
            “Apa? Kenapa kau melihatku seperti itu?”
            Ia tersenyum lagi, “Akhirnya kau tertawa juga,” ujarnya. “Sedari di halte, wajahmu terus murung. Bukankah adikmu akan datang? Seharusnya kau bahagia,”
            Kembali aku terdiam.
            “Kenapa? Ada masalah? Ceritakan padaku,”
            “Memangnya kau bisa memegang rahasia?”
            “Apa?!”
            Selagi bis terus melaju, aku menceritakan semuanya pada Satria. Tentang aku, dan adikku.


PART 1-END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Situs Download dan Baca Komik Gratis

My Day #8 Perumahan Seribu Bintang