NHW #3.1: Surat Cinta


Seperti saat kau jawab namamu saat ditanya namamu siapa?
Maka 'rasa cinta' bisa kembali hadir digali dari dalam memori
Rasa, sesungguhnya tak pernah hilang, kau hanya lupa
Hari ini, aku kembali memanggil rasa cinta itu lagi dari dalam memori
Dengan membaca surat cinta
***

Bingung. Aku bingung kala Nice Homework ke-3 diumumkan. Nomor 1, buatlah surat cinta pada suami anda. Begitu, perintahnya.

Kupandangi anakku yang sudah tertidur lelap, kupandangi juga setrikaan yang menumpuk, rumah yang berantakan, dan televisi yang terus menyala meski tanpa penonton.



Hari itu pukul 8 malam. Suamiku baru pulang 2 jam lagi. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, perlahan aku membereskan mainan Ismail, menyapu, sesekali Ismail bangun sebentar minta disusui, lalu mencuci piring, mandi, dan akhirnya beristirahat 30 menit sebelum suamiku pulang. Setrikaan? Biarlah, besok saja dikerjakan. Aku pun membuka grup WA matrikulasi IIP, hari Rabu, waktunya NHW.

Mm.. tunggu, membuat surat cinta?
Aku sama sekali tak ada ide. Ahh, kata-kata, datanglah, bantu aku merangkai surat cinta.

10 menit kemudian.
Gess, i really have no idea. Why? Why??
Ah, rasa. Rasa cinta seharusnya kuhadirkan saat menulis surat cinta. Tapi rasa lelah terlalu menguasaiku saat ini. Biar kucoba esok.

Hari Kamis berlalu, Jumat pun tiba. Aku berusaha keras merangkai surat cinta. Namun tak pernah sesuai dengan harapan. Lalu aku ingat, aku pernah membuat surat cinta! Ya, aku pernah!

Dengan semangat 45 aku menghampiri suamiku yang kala itu sedang mengecek sesuatu di laptop sebelum berangkat kerja.

"Bi, hari ini laptopnya dibawa kerja?"
"Ya." Jawabnya singkat.
"Kalau gitu aku pinjam dulu ya, ada yang mau ku-copy filenya."
"Oke."

Jariku cepat menggeser mouse.
Nah, ini dia. Suratku. Karena tidak bisa dicopy, aku pun memotretnya, berencana menyalinnya ulang di kertas, lalu besok kuberikan pada suamiku. Itu rencananya.

Namun, rencana kadang hanya berakhir rencana. Ismail hari itu entah kenapa rewel sekali. Tidak mau lepas sebentar saja dariku. Bahkan saat sudah tidur di malam hari pun, dia selalu terbangun bila aku beranjak. Inginnya nempel terus menyusu kepadaku. Hingga pukul 9 malam. Aku keburu lelah, suami juga keburu pulang. Besok. Bagaimana kalau besok? Hiburku pada diriku sendiri.
***
Hari Sabtu. Ismail masih tetap dalam mode manjanya. Tidak ingin jauh dari ibunya, aku bangun subuh, dia bangun juga. Aku memasak sarapan, dia di sampingku sambil merengek menarik-narik bajuku. Aku ke toilet, ia menangis minta ikut. Hanya bisa bersabar.

Bagaimana nasib surat cintaku?
Jam 9 pagi. Ismail masih setia menempel menyusu. Tiba-tiba Suami menghampiriku, ikut menonton aksi damai 112 di televisi. Sebuah ide terlintas, kukirimkan screenshot surat cintaku via WA.

Tring. HP suami berbunyi, suamiku langsung membuka HPnya. Aku senyum-senyum menatapnya. Begitu tahu itu WA dariku, ia langsung meletakkan HPnya lagi.

"Loh, kok nggak dibaca, bi?"
"Nanti aja, mau nonton aksi dulu."

Makjleb. Bad timing, fi. Yaa Allah, hindari hamba dari perasaan baper. Hihi.
Setelah iklan, suami malah beranjak untuk mengerjakan sesuatu lagi di laptop.

"Bi, nggak dibaca dulu nih?"
"Iya, nanti."
"Mm.." saya manyun.
"Iya, nanti mau baca."

10 menit kemudian suami kembali menghampiri, "Nih, akang baca ya. Emang apaan sih?"

"Surat cinta, hehe," jawabku malu-malu.
Suami menunjukkan muka kagetnya walau sedikit.

Aku masih sibuk menyusui Ismail. Sesekali kulihat suamiku yang masih membaca surat cinta dariku. Tiba-tiba dia menatapku, datar, tak ada mata berbinar atau ekspresi terharu seperti ekspetasi para penggemar drama.

"Bagus," ucapnya pelan, "Tapi belum selesai baca."
Aku buru-buru protes, "Ko gitu sih.. baca dong sampai beres. Responnya gitu aja? Para Suami ternyata memang begini ya menanggapi surat cinta," keluhku, mengingat chat WA tentang 'testimoni' para istri yang sudah berusaha memberikan surat cinta pada suami. Rata-rata respon suami adalah, diam.

"Eh, bentar.. ini umi yang buat?" matanya yang sipit seketika membulat.
Aku mengangguk dengan ekspresi imut yang dibuat-buat, meniru adegan anime, hihi.
"Waahhh.. bentar, akang mau baca dulu ya, sampai tuntas!"

Lalu kulihat dirinya terlarut dalam surat yang kubuat. Surat yang proses pemberiannya sangat tidak romantis. Tapi kuyakin, 君に届くはずだ! Cintaku pasti akan sampai padamu!

Surat cintaku bisa diklik di sini (link menyusul). Ini harusnya jadi postingan hari ke-9 dari 30 Days Blogging Challenge, namun belum sempat ku-update lagi.

Suamiku menatapku dengan tatapan tajam. Ekspresinya seolah bilang, "Speechless."
"Gimana bi, udah beres?" tanyaku.
Angguk-angguk.
"Bagaimana responnya?"
"Mm.. akang, akan bersabar dalam 5 tahun ini."
"Gitu aja?"
Seketika suamiku mengambil tanganku, lalu mencium punggung tanganku, "Terimakasih, atas suratnya."

Kami pun tertawa. Ah, ternyata bisa berakhir seperti di dalam drama.

15 menit kemudian, kami pun kembali ke dunia nyata. Aku sibuk menidurkan Ismail, sementara suamiku tidur pulas di sampingku.

Rabb, aku merasa cukup. Teringat lagi percakapan dengan Mama dulu saat masih galau soal jodoh.

"Fifah, Mamah mah, pengen jodoh Fifah teh jangan jauh-jauh. Paling jauh Sukabumi lah."
"Iya, Ma. Doakan aja."
"Terus, Mamah mah pengen Fifah teh jadi Dosen. Kalau nggak jadi Dosen juga, jadi istrinya dosen, atuh."
"Hihi. Iya, Mah. Aamiin."

Lalu ingatanku dan perasaanku bagai rewind dengan cepat; biodata taarufmu - kedatanganmu ke rumah - acara lamaran - pernikahan - bulan madu - pindahan ke lampung - pindahan ke jogja - pindahan ke Jakarta - kini kau tertidur di sampingku.

Sekali lagi, aku merasa cukup.
***
Jakarta masih diselimuti gerimis sejak pagi. Ismail dan suamiku sudah sama-sama tertidur lelap. Dengan perlahan, aku mengendap-ngendap ke dapur, melihat apa kiranya yang bisa kuolah hari ini. Lalu..

"Huaaaaaa....."

Tangisan Ismail. Ah, benar, ini dunia nyata.

***
Jakarta, 11 Februari 2017.
Saat yang lain sedang aksi damai di Istiqlal. Aku di rumah, damai bersamamu. #uhukk

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Situs Download dan Baca Komik Gratis

Kotoba #2 ほっといて!  (Hottoite!)