NHW#3: Peradaban Dimulai Dari Sini


NHW #3: Membangun Peradaban Dari Dalam Rumah.

NHW#3 kali ini soal menemukan potensi yang ada di sekitar kita. Dikemas dalam 4 pertanyaan yang apik tapi jawabannya bikin makin sadar diri. Heeii.. kamu ngapain aja selama iniii?? Kira-kira itu respon heboh saya terhadap NHW kali ini.

Oke, langsung aja saya jawab pertanyaan-pertanyaannya satu persatu!





Jawaban mengenai surat cinta sudah saya kemas secara 'lebay' dalam short story ala Afie yang bisa dilihat di sini. Waspada, BAPER DETECTED!


Ismail anak yang ceria dan aktif. Dia tidak betah berlama-lama di dalam rumah. Matanya selalu berbinar jika saya mengajaknya bermain di luar rumah, sekedar jalan santai 30 menit, membiarkan Ismail mengobservasi hal-hal menarik baginya yang ia temui di jalan. Seperti menyentuh rerumputan, menginjak genangan air, mengambil bebatuan kecil, atau memungut daun yang jatuh. Dia sangat tak betah jika harus bermain di rumah. Walaupun kadang saya terpaksa memberikannya video binatang di smartphone kala saya sedang kurang sehat dan tak ada yang bisa bergantian bermain dengannya, namun Ismail tidak pernah beralih dari asyiknya bermain di luar rumah, di alam terbuka.

Umurnya masih 1,5 tahun, saya belum bisa memprediksi banyak soal potensi yang dia miliki. Hanya, dari kesenangannya bergaul dengan teman-temannya dan antusiasmenya saat bermain di alam terbuka, saya berharap ia akan jadi pria petualang di usia remajanya, dan menjadi Duta Besar Indonesia di Luar Negeri. Memang kejauhan untuk bermimpi, tapi bukankah mimpi itu gratis?


Kalau passion itu diartikan sebagai sesuatu yang kita senangi, kita tidak bosan saat mengerjakannya, bahkan sampai lupa makan, dan terus menerus mengasahnya, maka passion saya adalah menggambar. Sejak TK saya senang menggambar, bahkan saat TK saya selalu menggambar gedung tinggi dan bercita-cita jadi arsitek.

Sayang, bakat saya ini tidak terlalu diasah saat kecil. Masa kecil saya dihabiskan bersekolah, dari pagi hingga sore. Hingga saat kuliah, saya mulai kembali mengasah hobi saya ini, mulai dari membuat pamflet-pamflet kegiatan Mahasiswa, hingga editing video.

Passion saya yang lain adalah menulis. Menurut teman-teman saya, saya punya bakat menulis, karena tulisan saya enak dibaca. Saya sempat membuat beberapa cerpen yang saya publikasikan secara pribadi via blog atau ke teman-teman saja. Belakangan beberapa teman menyemangati saya membuat buku, in syaa Allah saya targetkan rampung di 2018. Hehe. Maklum, saya masih kelabakan memanage waktu setelah Ismail hadir.

Dan, kelebihan lain yang saya bisa banggakan adalah, saya cepat untuk belajar. Seperti, setelah menikah sebenarnya saya sama sekali tak pandai memasak. Namun sekarang, saya sudah terbiasa memasak aneka hidangan hingga cemilan, dan alhamdulillah suami suka. Saya juga paham sedikit tentang IT. Kalau laptop bermasalah, mengembalikan file yang terinstall ulang, menstabilkan kembali kinerja smartphone, suami paling senang meminta saya soal hal ini. Bisa dibilang, antara saya dan suami, saya yang lebih melek teknologi, hihi.

Lalu, saya lulusan pesantren sementara suami lulusan negeri. Saya mendapat banyak ilmu agama di Pesantren, sementara suami secara otodidak mempelajarinya lewat berbagai kajian. Secara kuantitas, saya lebih unggul dalam banyaknya ilmu agama yang pernah saya pelajari. Sementara suami menang dalam segi kualitas, karena ia mencari ilmu itu atas kesadarannya sendiri, sehingga ilmu melekat kuat.

Suami unggul dalam mengelola emosi dan mengambil keputusan cepat, serta ketegasannya terhadap syariat. Sementara saya unggul di menjaga kerapihan rumah, tata letak, dan bahasa Arab.

Setelah menuliskan semua ini, Maa syaa Allah, saya sadar Allah telah menjodohkan kami karena karakter dan background kami saling melengkapi!

Sekarang Allah amanahkan Ismail di tengah-tengah kami, dengan formasi background saya dan suami sebagai pendidik, dan saya unggul dalam kuantitas ilmu agama, dan suami unggul dalam kualitas, pemahaman, serta keteguhannya.

Semoga tim kami ini bisa dikumpulkan lagi di Surga-Nya kelak. Aamiin.


Sebenarnya, saya dan suami memutuskan untuk pindah kontrakan 2 minggu lagi. Alasan pertama kami pindah adalah, karena kami mencari rumah satu lantai. Sekarang kami menempati kontrakan kecil 2 lantai. Cukup repot bagi saya untuk bolak-balik ke atas sambil menggendong bayi, menjemur pakaian, belum lagi riwayat saya pernah jatuh dari tangga.

Akhirnya kami menemukan kontrakan satu lantai, di mana pemiliknya rajin beribadah, dan tetangga kami adalah guru ngaji Al-Quran, semoga lebih berkah.

Namun, saya pun merenung lebih jauh mengapa saya ditempatkan Allah di tempat yang sekarang ini. Semenjak menikah, saya baru menemukan kehidupan masyarakat sekitar saya yang banyak tantangan. Ada anak-anak yang putus sekolah tanpa ayah, ibunya setiap hari mencari nafkah sebagai ojek online. Ada janda lain yang hidup dengan putrinya, tak ada yang menafkahi, namun tetangganya pun rutin mengirimkan makanan setiap hari. Anak-anak yang mandi 2x sehari karena ibunya bekerja terus menerus. Maupun kesenjangan sosial yang begitu nyata antara si miskin dan si kaya. Tak heran, ini namanya Jakarta.

Saya pun bertanya pada diri, kiranya kenapa saya dan suami ditempatkan di sini. Faktanya, saya dan suami sama-sama berlatar belakang dunia pendidikan. Suami sekarang bekerja sebagai pengajar di universitas swasta, baginya mengajar adalah hobi, bahkan dia bisa sampai lupa makan kalau sedang mengajar. Saya sendiri adalah alumni UPI Bandung, yang mana Tugas Akhir dan KKNnya pun tidak jauh dari mengajar. Saya pun sempat jadi pengajar sekaligus pembina di sebuah Pesantren di Sukabumi, tinggal di asrama bersama santri-santri.

Saya sebenarnya tak begitu pandai berkomunikasi, saat bertemu masyarakat luas saya tipe yang tak banyak bicara. Namun saya cukup perhatian terhadap masalah pendidikan anak-anak. Di akhir tahun 2017 saya memiliki target membuka rumah belajar untuk anak-anak putus sekolah. Melihat anak tetangga usia kelas 4 SD yang putus sekolah, lalu saat saya tanya, "Kalau kamu nggak sekolah, cita-citamu jadi apa?" Dengan nada datar dia menjawab, "Pembantu. Pembantu kan nggak butuh Ijazah."

Sedih hati ini, kala mengetahui anak ini berhenti bermimpi. Lebih sedih lagi saat saya tahu, ternyata saat RT siap mendanai sekolahnya, namun ditolak karena anak ini enggan bersekolah! Malas, katanya.

Kiranya kehendak apa yang digariskan Allah atas pertemuan saya dengan anak ini?

Dan, dia tak sendiri. Masih banyak anak-anak lain yang berhenti bermimpi dan memperlihatkannya pada dunia bahwa dia merokok, minum-minuman keras, menonton film porno, dia merasa aku sudah dewasa, inilah pekerjaanku, bersenang-senang.

Saya ingin membuat rumah belajar berbasis Al-Quran. Allah pernah mengizinkan saya mereguk nikmatnya berkawan dengan orang-orang shalih ahlul Quran saat kuliah dulu, Maa Syaa Allah. Saya ingin anak-anak ini bisa merasakannya juga. Sekarang saya masih corat coret kurikulum pengajarannya, serta strategi mengenai pendanaannya. Semoga Allah senantiasa kuatkan tekad saya, dan mudahkan saat mengurusnya. Aamiin.

Alhamdulillah, NHW kali ini akhirnya selesai juga, hihi.


*Postingan ini merupakan rangkaian tugas Nice Home Work dalam Matrikulasi Institut Ibu Profesional Batch #3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Situs Download dan Baca Komik Gratis

Kotoba #2 ほっといて!  (Hottoite!)