Cerpen #1 : Kakigori Part 3-END
Part 1
***
“Kau..., brother
complex3 ya? Satria tersenyum padaku.
“Apa maksudmu?”
aku menoleh padanya dengan wajah heran, “Brother complex? Aku menyayangi
adikku, tapi tidak sampai begitu!” aku mendengus kesal.
Satria mengubah
posisinya menjadi miring menghadapku, dengan perasaan bersalah ia meluruskan, “Ah,
maksudku, kamu benar-benar sayang adikmu, ya...”
Aku tersenyum,
tapi mukaku langsung cemberut ketika ia melanjutkan dengan tambahan yang tidak
penting ‘makanya aku menyukaimu’.
“Hmm, bisnya akan
berhenti di depan, dari situ kita ke bandara harus naik taksi. Zi sudah sampai?
Dia sudah sms?”
“Di pesawat mana
boleh mengaktifkan ponsel.”
“Kalau dia sudah sampai, dia pasti akan mengirimkan sms padamu
begitu mendarat,”
“Kalau dia sms,
aku pasti sudah memberitahumu,” ujarku tidak mau kalah.
“Aih, kau ini.
Dasar keras kepala, terserah kamu sajalah. Ayo turun,” Satria berdiri dari
kursinya, sementara aku mengikutinya turun sambil tertawa puas.
Kami turun dari
bis, tidak ada kursi di sekitar sini, jadi terpaksa menunggu taksi sambil
berdiri.
“Kau bilang tadi,
adikmu berangkat dari Indonesia jam berapa?”
“Aku belum bilang,”
“Ya, terserahmu.
Jam berapa?”
“Jam 5 pagi.”
Satria melihat
arlojinya, “Dan sekarang baru jam 11. Pesawat biasanya sampai setelah 7 jam. Sedangkan
dari sini ke Narita hanya tinggal 15 menit lagi. Kenapa kau tidak bilang sejak
awal? Kita terlalu pagi untuk menjemputnya,”
“Kau tidak tanya.”
“Aih, kupikir kamu
sudah mempertimbangkannya sehingga nanti kita bisa tepat waktu,”
“Aku? Aku bahkan
tidak tahu rute ke Narita dengan bis,”
“Lalu kenapa kamu
naik bis, nona?” Satria merenggut.
“Karena kalau naik
taksi, aku tak mau berdua denganmu! Wee,” aku mendengus kesal, lalu meninggalkannya.
“Apa? Pada
akhirnya kita naik taksi juga, kan? Hei! Kau mau ke mana?”
“Aku lapar!”
Beruntung ada
warung udon di sekitar sini. Tanpa ragu aku memesannya. Satria masih saja
mengikutiku, katanya ia belum sarapan juga. Huh, pria dengan 1000 alasan ini
benar-benar menyebalkan! Apa kugulung saja dia seperti sushi ya? Atau
kutempelkan banyak wasabi ke bibirnya itu agar ia berhenti mengoceh?
“Ah, ini
benar-benar enak! Paman, 1 mangkok lagi,”
“Hai, o matase
shimashita! Doozo.”4
“Hee? Tambah lagi? Kau sudah 2 mangkok,” aku melotot ngeri melihat
nafsu makan orang ini. Aku saja yang 1 mangkok, belum habis.
“Kau malah memandangiku, cepat dimakan.”
“Kemarin kau tidak makan, ya?”
Satria tersenyum malu, “Ng, hanya sempat satu kali, hehe.”
“Pantas.”
“Ng, soal yang tadi, adikmu.”
“Ng?”
“Apa kau sekarang benar-benar mengerti perasaannya?” tanyanya
sambil menyeruput udon dari sumpit.
“Habiskan saja dulu makananmu.”
“Jawab saja.”
“Kupikir, dia benar-benar tidak suka caraku memperhatikannya. Aku
sangat mengganggu baginya.”
“D...dia sa...blurrp,yang pada..ah,..huk, huk.., a..ku.., huk
tersedak.” Aku lekas menyodorkan gelasku yang masih penuh dengan air.
“Ini gelas bekasmu? Akhirnya..”
“Apa maksudmu? Cepat minum saja. Habiskan dulu makananmu, lalu kita
bicara. Aku akan menunggumu di luar,”
Satria mengangguk.
“Oh, satu lagi,” aku membalikkan badanku,”Kau yang bayar.”
“Siap. Eh, kau mau kakigori?”
“Ada? Aku mau,”
“Cepat sini duduk lagi,”
Aku tersenyum. Aku suka sekali kakigori, bentuknya sederhana, tapi
sensasinya...wow, terkadang bikin otak nyut-nyut sebentar, atau gigiku sakit
sebentar. Meski penampilannya dingin dan sederhana, tapi akibat rasa yang
ditimbulkannya membuat hatiku bahagia.
“Kau suka sekali, ya?”
Aku mengangguk tanpa berkata. Terlihat mataku berbinar saat makan
kakigori.
“Kau tahu suatu hal?”
“Tentang apa?”
“Adikmu itu seperti kakigori5.”
Aku mendadak diam dengan sendok berisi penuh kakigori masih ada di
mulutku.
“Adikmu itu, memang menyebalkan ya. Tapi dia sayang padamu. Kau
tahu?”
Aku memandang Satria dengan wajah keheranan.
“Dia mungkin menunjukkan wajah yang datar dan bersikap dingin kepadamu,
seperti kakigori ini,” Satria menunjuk kakigori yang sedang
dimakannya dengan sendok.
“Dia berwajah dingin padamu. Tapi kalau kau mengerti dia, dia bersikap
dingin untuk membuatmu senang, dan merasakan rasa manis seperti kakigori
ini,” ucap Satria memasukkan sesuap kakigori ke mulutnya.
“Maksudmu?”
“Kuulangi lagi,” Satria mengubah posisi duduknya menghadapku. “Adikmu
itu sayang padamu. Sangat sayang.”
Melihat keheranan tergambar di wajahku, Satria melanjutkan, “Kau
tahu betapa menyebalkannya dia saat membicarakanmu? Kak Fifi inilah, itulah.
Ini hadiah dari kak Fifi, ini foto kak Fifi waktu SMA, ini gantungan kunci dari
kak Fifi, ini saputangan buatan kak Fifi, ini Al-Qurannya kak Fifi, ini...,”
“Satria...,” aku tersenyum.
“Ini.., ah, ya?”
“Ingatanmu bagus, ya,” aku tertawa.
Satria menunduk malu, “Anu, aku..yah, intinya adikmu itu sayang
padamu. Aku tahu Zi pernah berkata kasar padamu, dia sudah ceritakan semuanya
padaku,”
“Apa? Jadi untuk apa aku bercerita panjang lebar tadi?” aku
melotot.
“Zi bilang, kau terlalu mengkhawatirkannya, kau sangat perhatian
padanya, sehingga kau bahkan tidak punya waktu untuk dirimu sendiri. ‘Aku tidak
mau kakak seperti ini karena aku. Aku ingin kakak bahagia, dan aku tak mau aku
jadi tergantung pada kakak,’ begitu,” Satria mengikuti gaya bicara Zi yang
datar, membuatku tertawa geli.
Aku terdiam sejenak, mencerna semua ini.
“Adikmu itu Kakigori,” Satria tertawa terbahak-bahak.
Jadi seperti itu
kebenarannya? Bagaimana aku bisa tahu perasaanmu seperti itu kalau kamu diam
terus? Ha, aku menertawaimu dalam hati. Maafkan aku ya.
Selagi aku
tersenyum menyadari kekeliruanku, Satria kembali mengoceh sesuatu yang tidak
penting, “Kau pikir, kenapa aku menyukaimu? Bahkan kita baru kenal akhir tahun
belakangan ini. Kau pikir darimana aku dapat keberanian untuk melamarmu? Kau
kira aku menyukaimu pada pandangan pertama? Tidak. Aku menyukaimu bahkan sebelum
aku mengenalmu secara nyata. Aku menyukaimu karena mendengar cerita-cerita
adikmu....,”
Dan seterusnya,
Satria terus mengoceh. Kata-kata ‘menyukaimu’ harus kudengar beberapa kali dari
mulutnya. Ratusan kali mungkin.
“Aku duluan,” aku
beranjak dari kursiku berlari keluar sementara Satria menghentikan ocehannya
sambil melongo.
“Hei, kau mau ke
mana? Aku belum selesai!”
Aku hanya
mengulang-ulang kata ‘Zi’ dan ‘Zi’ terus dalam pikiranku. Timing yang tepat,
taksi datang menghampiri. Tanpa pikir panjang, aku langsung naik dan
meninggalkan Satria yang baru saja keluar setelah membayar.
“Hei, tunggu aku!”
Aku yang sudah
duduk di dalam tidak begitu jelas mendengarkan kata-katanya, “Narita, pak,”
ucapku. “Baik, nona.” Supir taksi tersenyum sambil menggerakkan topinya.
Satria tidak
berusaha lari mengejarku seperti di drama-drama—mungkin ia tahu cara itu tidak
akan berhasil—dan dari kaca spion terlihat ia hanya berdiri mematung.
“Kenapa suami anda
ditinggal, nona?”
“Dia bukan
suamiku.”
“Tapi kelihatannya
begitu.” Supir itu tertawa, “Kalian begitu serasi,” sambungnya.
Aku hanya
tersenyum. Hei pak, kau bilang aku sudah bersuami, tapi kau panggil aku
dengan sebutan ‘nona’?, batinku kesal.
Aku segera mengirimkan
sms pada Satria—karena merasa bersalah—maafkan aku, aku pergi begitu saja. Kembalilah
bekerja.
Satria membalas. Tidak
mau.
Cih, dasar keras
kepala! Sesukamu saja.
Begitu sampai di
Narita, aku bergegas, dan ponselku berbunyi. Dari Zi. Kak, jangan lari-lari,
nanti jatuh. Eh? Zi sudah di sekitar sini?
Aku menghentikan
langkahku. Kau di mana? Balasku.
Di sini. Balasnya.
Di sini di
mana? Dengan tak sabaran aku segera mengetik.
“Di sini, kak,”
tiba-tiba suara lembut mengagetkanku, sesosok pria tampan menepuk bahuku.
“Zi?” ucapku tidak
percaya.
“Kenapa, kak?”
Aku memeluknya sambil terisak, “Maafkan kakak, Zi,” bisikku lirih. “Kakak
kenapa? Kenapa menangis?”
Aku menggeleng tersenyum “Kau semakin tinggi ya,” ujarku sambil
menyeka air mataku.
“Ah, kakak ini, baru juga 1 tahun tidak bertemu,” Zi tertawa. “Ini
kak, dari ibu. Katanya ibu khawatir kakak jarang makan karena tidak bisa masak.”
Zi tertawa lagi.
“Kata siapa? Sudah hampir 2 tahun di sini, bahkan aku sudah menjadi
koki,” candaku.
“Bohong.”
Kami bersama-sama jalan ke depan menunggu taksi. Tiba-tiba Zi
bertanya, “Kak Satria mana? Bukannya tadi bareng ke sini?”
“Eh, darimana kau tahu?”
“Dia mengirimi terus aku sms sepanjang perjalanan, jadi begitu
kuaktifkan ponselku, sms darinya begitu banyak. Sekitar 20 sms.”
Aku tertawa geli, “Sebanyak itu apa yang ia sms-kan?”
“Aku lupa,
sebagian ada yang kuhapus. Tapi terakhir-terakhir, dia mengirim sms yang hampir
sama terus,” Zi keheranan.
“Apa isinya?”
“Ng.., dasar
kau kakigori. Ramzi adalah kakigori. Kakigori, kau sudah sampai?”
ucap Zi, “Kakigori itu apa, kak?”
Aku tertawa, “Kakigori
itu kau,” ujarku.
“Hah? Terserah
kakak saja, aku tak peduli jika kakak tidak mau memberitahuku. Tapi kak, kenapa
kakak tidak pertimbangkan kembali lamaran kak Satria?”
“Kenapa
pembicaraannya jadi ke situ?” mukaku berubah jadi serius.
“Kenapa kakak
menolaknya? Setahuku, tidak ada alasan untuk menolaknya. Dia belajar keras demi
bisa ke Jepang, demi untuk bertemu kakak. Dia juga rajin beribadah, sifatnya
baik, dan kakak tahu? Dia belum pernah pacaran satu kali pun, sama seperti
kakak. Jadi kupikir kalian cocok.”
Aku tertegun. Ke
Jepang? Demi aku? Aku tertawa dalam hati. Dipikir-pikir, usiaku sudah 27 tahun,
dan masih melajang. Apa dia jodohku?
Aku segera
mengambil ponselku.
Sementara itu,
Satria sedang dalam perjalanan ke Narita. Begitu hampir sampai, ia tersenyum
ketika mendapati Fifi dan Satria masih ada sedang menuggu taksi. Ponselnya
berbunyi. Sms dari Fifi. Ketika membacanya, Satria tersenyum senang.
“Sekarang pun aku
mau langsung terbang ke Indonesia! Ke rumahmu!” Satria mengagetkanku dengan
tiba-tiba turun dari taksi yang kami stop, dan terlebih lagi, mengatakan hal
itu.
Aku buru-buru
menarik adikku masuk, Satria ikut masuk lagi, dia duduk di depan, sementara aku
dan adikku di belakang.
“Lalu kenapa kau
menolakku sebelumnya?” Satria tertawa sambil menoleh padaku.
Aku memanyunkan
bibirku. Adikku kebingungan akan omongan Satria, “Apa yang kak Satria
bicarakan?”
Satria hanya
tersenyum pada Zi, lalu memandangku sambil tersenyum lebar.
“Hentikan pandanganmu itu, kita masih bukan muhrim,” ujarku.
Satria tertawa, “Baiklah
nona..,”
Dan sepanjang
perjalanan, terpaksa kami mendengarkan senandung Satria yang menyebalkan. Usiaku
29 tahun, dan aku akan menikah...da,straa,la...menikahi kakaknya kakigori....la..la.
Aku jadi teringat saat aku dan Satria bertemu, waktu itu Musim semi, saat
ada pertemuan kumpulan Mahasiswa Indonesia wilayah Nagoya.
“Kau yang bernama
Fifi?” tiba-tiba seorang pemuda menghampiriku. Tubuhnya agak tinggi,
perawakannya sedang, kulitnya putih, rambutnya cepak, senyumnya tulus dan kedua
matanya jernih. Sedangkan kedua tangannya disembunyikan di belakang tubuhnya.
“Ya. Kau siapa?”
jawabku agak judes.
“Kakigori?” pemuda
itu tiba-tiba menyodorkan kakigori dari balik tubuhnya kepadaku, “Hajimemashite.
Satria tomoshimasu. Yoroshiku,”6 pemuda itu tersenyum.
Aku dan adikku
menahan tawa. Aku mengusap-ngusap rambut adikku, senang.
Ketika kamu
bilang aku mengganggu,
Maka akan kuartikan
itu semua,
Ucapan terima
kasihmu padaku.
Terima kasih
adikku,
Semoga kamu
jadi anak yag shaleh,
Dan semoga
usiamu selalu menjadi berkah
Meskipun jauh,
Kakakmu ini
akan selalu mendoakanmu.
Bumi Siliwangi, 10 Juni 2011
——
Dalam diamku, mendengar sahut-menyahut orang-orang berdiskusi dalam
rapat dan meributkan soal kompor.
Teruntuk adikku yang mulai kuliah di S1 Ilmu Komputer IPB,
teteh akan selalu mendoakanmu, maaf jika teteh sering membuatmu
kesal.
Allahumma yassir laka ‘ala kulli amrika—
semoga Allah senantiasa mempermudah segala urusanmu. Aamin
- finished
at 10:58 am, edited at 07:19 pm-
Komentar
Posting Komentar