Cerpenku #1 : Kakigori Part 2
Yang belum baca part 1, klik di sini.
***
“Ramzi pulang!!”
aku berlari ke pintu depan, memelukmu, adik laki-laki semata wayangku. “Duh,
yang dapat beasiswa,” aku mengacak-ngacak rambutmu.
Kamu hanya tersenyum, “Ibu mana, kak?” matamu meneliti sudut
ruangan.
“Bu, Ramzi pulang,”
aku menarik tanganmu untuk menemui ibu, tapi kamu melepaskan peganganku, “Hentikan
ah, kak,” ujarmu datar.
“Loh? Kenapa? Aku
kan kakakmu,” ujarku tanpa menghiraukan apa yang kamu pikirkan saat itu, aku
menarik tanganmu lagi.
Kamu tampan. Kamu
pintar. Kamu baik hati. Kamu rajin beribadah. Kamu tinggi. Dan pujian-pujian
lain yang biasa kudengar ditujukan untukmu, adikku.
Kamu tahu tidak,
ada perasaan mengganjal di hati kakakmu ini ketika mendengar semua itu? Tapi
kakakmu ini menepis semua perasaan sakit itu, karena aku menyayangimu. Aku
selalu ingin yang terbaik untukmu.
“Jadinya IPB, kan?”
Ibu bertanya padamu soal shalat istikharahmu kemarin. Kamu hanya menjawabnya
dengan mengangguk tanpa berbicara sedikit pun.
“Kalau Zi mau ke
ITB, Zi harus daftar ulang besok, biar..”
“Bu, hentikan,”
ucapan ayah memotong pembicaraan ibu. “Ibu hanya membuatnya semakin bingung. Sudah,
keputusannya IPB,” ayah mendengus kesal.
Aku berusaha
mencairkan suasana, “Zi, nanti ajarin kakak hacking ya,” ujarku sambil
tersenyum menyenggol pundakmu. “Biar nanti bisa hacking Israel, haha,” aku
tertawa. Ibu mulai tersenyum. Ayah mulai menceritakan bagaimana pekerjaan
Sarjana lulusan Ilmu Komputer kelak, soal programming, Operating System, DOS,
dan sebagainya.
***
“Hei, mengapa kau
terdiam?” Satria menegurku, “Kau baru cerita sedikit,”
“Oh, sampai mana
aku tadi?”
“Sampai kau
mencairkan suasana.”
“Ng, sebelum itu,
boleh kutanyakan padamu sesuatu?” aku memandang wajah Satria dengan pandangan
serius.
“Silahkan, apapun
untukmu,” Satria tersenyum geli.
“Kau punya seorang
kakak, kan?”
“Ya.”
“Dan kau punya
seorang adik?”
“Ya.”
“Kakakmu
perempuan, kan?”
“Ya.” Satria mulai
kesal, “Sebenarnya apa sih yang ingin kau tanyakan?”
Aku langsung
menanyakan pendapatnya mengenai perasaanku pada adikku sendiri. Jangan salah
paham, jika kau ada di posisiku, mendapati adikmu lebih hebat darimu, dan
seluruh penjuru dunia mengelu-elukannya dan tak jarang mereka membandingkan
adikmu dengan dirimu, sang kakak, yang bahkan tidak menduduki peringkat 3
selama SMA. Sedangkan selama ini, kau yang menyemangatinya, memotivasinya untuk
belajar, dan tak jarang memberikannya hadiah sebagai penyemangat, merasa kalau
adikmu akan sukses, dan kau harus menjadi seseorang yang ada di balik semua
itu.
“Lalu? Aku tidak
mengerti,” dahi Satria berkerut.
“Lalu..,”
“Ya?”
“Lalu.., adikmu
bahkan ternyata tidak memerlukan itu semua, dia tidak butuh dukungan darimu,
sama sekali,” aku menunduk, hampir menangis. Mengingat kembali memori pahit
akan ucapan adikku.
***
Kamu ingat? kamu
sedang beres-beres saat itu, karena lusa harus berangkat ke Bogor. Aku sengaja
tidak membantumu berkemas, karena aku tahu, ada barang-barang pria yang tidak
ingin terlihat oleh wanita, bahkan oleh kakakmu.
Kamu berkemas, aku
pun berkemas. Bukan untuk mengantarmu, tapi untuk kembali ke Bandung esoknya,
setelah liburan persiapan UAS. Aku tak tahu apa yang kamu rasakan saat itu,
karena aku sudah agak lupa apa yang kurasakan saat aku berkemas ke Bandung 2
tahun yang lalu. Yang jelas, saat itu aku tidak ingin berangkat, aku takut
kecelakaan di jalan, dan aku tidak bisa bertemu dengan ibu kita lagi.
“Fifi yakin tidak
akan ikut ke Bogor?” Ibu masuk ke kamarku. Aku menggeleng sambil tersenyum. Aku
takut merepotkan ayah dan ibu jika ikut—mengingat kalau menggunakan
transportasi umum, jika aku ikut, biaya pasti membengkak—“Fifi harus siap-siap
ujian, Bu. Buku Fifi di sana semua, ditambah lagi, di kosan lagi kosong.”
“Ikut aja, besok
kamu ke Bandung, ambil bukumu. Lalu pulang lagi,”
“Kasihan bu, Fifi
pasti capek kalau begitu,” kali ini giliran ayah yang bicara.
Aku tersenyum.
Setelah membereskan semuanya, aku menghampirimu yang masih sibuk menata barang
di tas koper hitam besar milik ayah.
“Zi, tidak apa-apa
kan, kalau kakak tidak ikut mengatarmu?”
“Tidak apa-apa.”
jawabmu datar.
“Yakin....?” aku
menggodamu sambil tertawa. Maklum lah..siapa lagi pria yang bisa kugoda selain
adikku sendiri?
“Yakin,” kamu
tetap menjawabnya dengan datar.
“Oke. Kan Zi
sering ikut kalau semuanya lagi nganterin kakak ke Bandung pas pindahan, jadi
kakak pikir..,”
“Kakak pikir waktu
itu aku mau?” kamu menghentikan beres-beresmu, memandangku dengan wajah kesal. Aku
benar-benar tak kenal dirimu saat itu. Benar kamu adikku?
“Kakak pikir,
kamu..., kan waktu itu juga...,”
“Siapa bilang aku
mau ikut? Aku dipaksa oleh ibu, kak. Aku benar-benar ingin bersantai di rumah
saat itu,”
“Zi...?”
“Lagipula kakak
ini menyebalkan sekali! Kakak selalu memelukku, mengacak-ngacak rambutku. Aku
bukan anak kecil lagi, kak! Hentikan! Kakak pikir selama ini aku bersikap
menerima, hah? Aku terganggu, kak!” matamu melotot saat itu. Aku benar-benar
tak mengerti apa yang kamu rasakan. “Kakak selalu ikut campur urusanku. Menyuruhku
untuk ini, itu. Melarangku melakukan ini, itu. Hentikan, kak!”
Sibuk aku menyalahkan diriku yang tidak peka akan perasaanmu, kamu
beranjak dari tempatmu, membiarkan aku terpaku sendirian.
Jadi, selama ini
yang kulakukan padamu itu salah?
Sebagai kakak, aku
harus lakukan apa?
Apa sebenarnya
yang kamu inginkan?
Sejak saat itu, kuputuskan untuk tidak ikut campur urusanmu lagi. Terserah
kamu mau apa, karena selama ini kamu tidak suka sikapku sebagai kakak.
Kuputuskan mulai saat ini untuk mengurusi urusanku sendiri.
Tetapi kamu tahu
tidak, betapa aku mengkhawatirkanmu? Betapa takutnya aku, ketika suatu hari aku
bermimpi dirimu membawa seorang wanita asing ke rumah, dan kalian berdua
menghadap ayah dan ibu sambil menggendong anak. Lalu wanita itu—wanita yang kau
bawa—tertawa terbahak-bahak seperti tidak punya etika, dan kamu hanya pasrah
mengayun-ayun anakmu dalam buaianmu.
Tapi kamu bilang
aku mengganggu. Perhatianku mengganggumu.
Maka sejak saat
itu kuputuskan begitu—tidak ikut campur urusanmu lagi. Kamu merasakannya, kan? Sikapku
padamu 3 tahun terakhir ini. Sekarang tidak akan ada Fifi yang ceria lagi di
hadapanmu, dan karena ini, rumah jadi sunyi senyap saat kamu pulang, karena
dari dulu kamu memang pendiam.
Terima kasih. Dengan
tidak memikirkanmu, aku bisa fokus belajar. Sehingga aku bisa melanjutkan S2 ke
Jepang dengan gratis. Kuakui, ini semua berkat kamu.
Komentar
Posting Komentar