NewMom Diary #4: Baby Blues?
Kehidupanku berubah
180 derajat. Aslinya.
Tahu penjara? Rasanya
seperti itu. Dipenjara. Dipenjara dalam cinta.. #eaaa
Dulu, sebelum punya
anak, pagi-pagi bisa santai menyiapkan sarapan untuk suami. Mandi, berpakaian
rapih, menyapu dan mengepel rumah, lalu menikmati segelas susu hangat sambil
mendengarkan MQFM. Ah, nikmat manakah yang kau dustakan?
Setelah punya anak…
Selama 1 bulan pertama
setelah melahirkan belum bisa beraktivitas secara maksimal. Bahkan hingga 2
minggu pasca persalinan badan rasanya rusak semua. Mau jalan saja susah,
apalagi berlari. Kalau malam Ismail menangis karena lapar, untuk bangun ke posisi
duduk saja butuh perjuangan. Bukan soal tidak mau melakukan itu semua. Cuma
nyut-nyutannya itu, lho. Dan ketika sedang berjuang untuk duduk itu ada saja
orang sekitar yang terganggu karena suara tangisan Ismail, “Duh, itu kasihan
dedenya! Kasih susu atuh!” tanpa melihat sang Ibu sedang kepayahan meraih si
bayi. Its totally change, my life. Haha.
“Dede pipis tuh,
gantiin popoknya.”
“Nanti harus bisa
mandiin bayi sendiri, ya.”
Pusing. Bingung. Dan
kamu pun Ismail.., mengalihkan duniaku. Hihi.
Oke, pernah dengar
sindrom baby blues? Itu lho, syndrome ‘kaget’ karena punya bayi. Baby blues
tingkat terparah adalah ketika sang Ibu benar-benar ‘menyerah’ saat adaptasi
terhadap bayinya, sehingga membiarkan bayinya atau bahkan.. membunuh bayinya
sendiri. Kita tentu sering melihat berita mengenai ini di televisi.
“Hati-hati lho, nanti
kena baby blues.” Temanku yang satu bulan lebih dahulu melahirkan anak
pertamanya memperingatkanku di hari ke-3 pasca persalinan. Saat itu aku hanya
tertawa, “Hah? Nggak kok, aku sayang sama dede.”
“Ya, sekarang belum.
Ini cuma masalah adaptasi sih. Nanti juga kamu bakal tiba-tiba nangis.”
Temanku benar. Hingga
seminggu pasca persalinan aku masih dibantu secara full-time oleh berbagai
pihak. Masih ada suami yang ambil cuti, membantu menggendong-gendong Ismail hinggal
tertidur. Ada Mama yang juga ambil libur mengajar, membantuku mengganti popok
Ismail dan mencucikan pakaian. Ada Mak Paraji yang membantu memandikan Ismail.
Tugasku cuma: Makan yang banyak dan menyusui Ismail. Itu saja. Tapi itu hanya
seminggu.
Tiga hari pasca
persalinan, suami kembali bekerja di Jogja. Otomatis malam ke-4 aku terjaga
sendirian, eh, berdua bersama Ismail. Seminggu setelahnya, Mama mulai mengajar
lagi. Jadilah pagi-pagi hingga siang aku hanya berdua dengan Ismail. Aku, si
ibu baru yang tak tahu apa-apa, hiks.
Bagaimana jika aku
salah menggendong dan Ismail merasa tak nyaman? Bagaimana jika Ismail tersedak
saat menyusu? Belum ketika aku kebingungan saat Ismail menangis tanpa sebab.
Aku hanya bisa bengong menatap Ismail. Beruntung Mamah dengan sangat baik hati
membantuku, mengajariku dengan sabar. Diraihnya Ismail, lalu Ismail
ditengkurapkan sambil ditepuk-tepuk punggungnya. Ajaib! Ismail diam! “Bayi
biasanya rewel karena perut kembung. Biasakan tiap habis disusui ditepuk-tepuk
punggungnya sampai bersendawa.”
Keadaan seperti ini
yang terus menerus kadang membuatku gampang dibisiki syaithan hingga cengengku
muncul. Suamiku tak hentinya menasehati, “Jangan sedih sayang, kalau sedih
berarti kita kufur nikmat. Kalau sedih berarti iman kita sedang lemah.”
Seketika langsung tersadar dan beristighfar. Kutatap lekat-lekat Ismail,
mengusap rambutnya. Kelak anak ini tumbuh besar dan jadi pejuang, in syaa
Allah. Aduh Fi, ini baru satu lho! Katanya mau punya anak banyak? Batinku.
“Tenang Fi, nanti
kalau udah sebulan udah enakan, kok.” Hibur temanku. Oke, kembali ke mantra:
“Semuanya akan berlalu. Semuanya akan berlalu.” Hadapi. Hadapi. Sebulan aja.
Jreng!
Kini usia Ismail sudah
1,5 bulan. Aku makin terbiasa mengurusnya. Terbiasa bergadang juga, hehe. Aku
semakin sayang sama Mama. Lewat mengurus Ismail, aku mengerti kenapa Mama
sangat kuat dan jarang sakit. Karena seorang ibu pantang sakit dan terbiasa
mengurus berbagai hal sehingga badannya kuat. Aku mengerti kenapa Mama kalau
dibangunkan tiba-tiba selalu terbangun dalam keadaan kaget dan langsung sigap
ke posisi duduk. Karena setiap malam, setiap anaknya menangis, ia selalu sigap
menghampiri.
Baby blues pada
mulanya hanya soal adaptasi, hadapi dengan usaha terbaik sebagai ibu. Nggak
usah lebay, nggak usah terlalu drama saat berperan jadi ibu. Kalau merasa
lelah, capek, ingat saja banyak orang lain yang lebih kelelahan. Seperti para
pengungsi Suriah atau Rohingya yang terombang ambing di lautan, terdampar di
pantai dalam keadaan tak bernyawa. Dan di antara mereka ada juga seorang ibu
dan anaknya. Berikut sedikit tips dariku:
- Jangan sungkan untuk minta bantuan ke orang sekitar. Kita masih baru, wajar kalau banyak salah, nanti juga lama-lama terbiasa.
- Kontrol pikiran. Pikiran berpengaruh besar pada perasaan kita. Sugestikan diri bahwa setiap kelelahan, kesakitan, kepayahan, adalah kesempatan dari Allah SWT untuk menghapus dosa-dosa kita, jadi bersabarlah.
- Bersahabat dengan waktu. Saat si kecil tidur di siang hari, usahakan untuk ikut tidur bersamanya untuk mengantisipasi kurang tidur. Kalau tidak bisa tidur, tidak apa-apa, tetap berpikir positif badan kita kuat, sehat.
- Makan makanan kesukaan. Hehe, ini sangat berpengaruh ke mood kita saat berhadapan dengan bayi. Lupakan diet, makan makanan yang bergizi.
- Ini semua hanya game! Aku selalu membayangkan hari-hari bersama Ismail seperti sebuah game. Saat Ismail tidur, aku berada di time mode dimana aku harus memanfaatkan waktu untuk melakukan pekerjaan rumah lainnya. Menyenangkan!
- Dan terakhir… kalem, semua akan berlalu, hehe.
Komentar
Posting Komentar