Berbicara dengan Dia lewat Matematika


Apa pikiranmu saat membaca judul tulisanku ini?
Siapa yang kumaksud dengan "Dia"?

Pernah suatu hari aku tak sengaja menemukan riwayat transfer di mobile banking suami yang tertera bahwa suamiku mengirim sekian ratus ribu untuk si Z. Aku kenal dengan Z. Tenang, dia pria. Tanpa ragu kubuka Whatsapp suamiku. Kami memang tak ada privasi dalam hal ini. Dia bebas mengakses ponselku, begitu pun aku. Aku sering membuka Whatsappnya untuk mengetahui jadwal mengajarnya setiap hari. Seperti sekretaris. Kadang dia ketiduran di saat harus mengajar, atau lupa.

Dalam whatsappnya, kutemukan bahwa suami sehari sebelumnya membeli raket pada Z dengan harga sekian. Aku kaget, tentu saja. Bulan lalu baru saja beli raket baru, kenapa beli lagi? Sebelumnya kami memang bersepakat bahwa dia boleh beli apapun yang dia butuhkan, tapi aku sebagai istrinya berhak mendapatkan jatah belanja untuk diriku sendiri dengan nominal yang sama. Kami berdebat cukup panjang sebelum menyepakati hal ini. Seperti alasan dia membeli raket yang menurut dia untuk kebaikan keluarga.

"Aku beli untuk jaga kesehatan, kesehatanku kan untuk sekeluarga," alasannya, "Kalau umi memang mau dibelikan apa? Hobi umi kan menulis, cukup menulis di laptop juga."

"Mau kubelikan skincare, daster, daan lain-lain. Bukankah kalau aku hepi, suasana di rumah juga nyaman?"

Sejenak suami terdiam lalu tersenyum, "Oke, deal. Tapi aku tahu, umi pasti akan beli untuk kebutuhan keluarga, bukan untuk diri sendiri."

Ya, memang, itulah aku. Terakhir kali suami memberi uang yang katanya untuk kubelikan daster atau apa pun, berakhir dengan kubelikan pakaian suami dan anak-anak, hahahaaaa.

Tapi kali ini aku punya rencana lain, keh keh keh.
Setelah kukumpulkan data bahwa pada tanggal sekian, suami transfer ke Z sekian, untuk beli raket. Tinggal kukonfirmasi ke suami apa temuanku ini benar. Apa dia berniat menyembunyikan? Halah, udah mulai masuk genre thriller ini.

Sore hari, suami pulang. Hmm, kapan sebaiknya kutanyakan? Kalau sekarang rasanya kurang pas, khawatir lelah, malah emosi. Oke, mungkin nanti malam sebelum tidur saat -sensor- eh, maksudnya saat anak-anak sudah tidur.

Suami sore itu bercerita panjang lebar mengenai soal-soal TPA yang menurutnya memang hanya bisa diselesaikan dengan orang yang pandai berlogika. Aku manggut-manggut.

"Mi, coba jawab soal ini: Semua atlet renang pandai berenang. Andi bukan atlet, maka?"

"Tidak bisa berenang." Jawabku.
"Salah. Bisa aja si Andi bisa berenang, dong."
"Hmm. Tapi kan datanya cuma 1 pernyataan awal itu."
"Ya, tapi kan ada kaidah jika p maka q, jika tidak p maka tidak q atau q."
"Oooh, ada kaidahnya toh."
"Iyaaa. Nih, satu lagi. Kalau abi main badminton, maka umi marah. Jika abi tidak main badminton, maka??? Umi tidak marah, dong," katanya sambil terkekeh.
Tiba-tiba sesuatu melintas di benakku. MUNGKIN INI SAATNYA.
"Aku punya soal juga, bi. Nih, ya: Jika abi ketahuan beli raket baru, maka umi ngambek. Jika abi tidak ketahuan beli raket baru, maka????"

Suami terdiam lalu bibirnya nyengir, wkwk.

"... maka umi mungkin ngambek. Karena umi bisa aja tahu," lanjutku.



Selanjutnya suami bertanya-tanya darimana kutahu semua itu. Aku merasa puas betul, karena tidak emosi dan semuanya tersampaikan dengan baik.

"Terus umi ngambek nggak sekarang?"
"Nggak, bi."
"Syukurlah."
"Yaaahh aku sih tinggal hitung aja tabungan aku, bi. Kalau ditotalin jadi...."
"Hmmmmhhhh. Bisa ae si umi."

Hari itu aku tahu betul bagaimana menyampaikan unek-unekku secara sehat kepada suami: lewat soal Matematika.

#catatanafie2021day2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Situs Download dan Baca Komik Gratis

Kotoba #2 ほっといて!  (Hottoite!)