PPL: Siswa, Gadget, dan Kekuatan Lapar

Bukankah manusia itu mengerikan? Mereka selalu menganggap diri mereka paling benar, padahal antara  manusia yang satu dengan yang lainnya pendapatnya tak jarang berbeda bagai dua sisi mata uang. Kuharap aku adalah gunung yang pada hari kiamat nanti menuruti komando Israfil untuk beterbangan di langit dan membuat manusia takut.

Yah, kita kesampingkan soal itu, kalimat-kalimat di atas hanya unek-unek pagi dari otak yang sedang eneg. Kali ini saya akan berbagi cerita tentang keseharian saya selama PPL. Hari-hari di mana saya menemukan banyak hal-hal istimewa yang membuat saya bertasbih dan beristighfar.

Seperti biasa saya mengajar Bahasa Jepang di kelas X, seperti biasa pula anak-anak ada yang serius memperhatikan, ada yang serius mendengarkan--mendengarkan musik. Di sekolah tempat saya PPL, HP, gadget dan sejenisnya tidak dilarang, sehingga wajar jika di tengah-tengah jam pelajaran ada siswa yang minta izin, “Sensei, izin ngecas ya.” sambil berjalan ke depan kelas di mana ada colokan listriknya.

Pernah juga HP seorang siswa jatuh oleh saya karena dia menyimpan Hpnya yang sedang dicas di atas bahu kursi guru, antara sengaja dan tidak, saya memajukan kursi dengan alay ketika duduk...dan BRUK, Hpnya langsung mati. “Duh, maafin Sensei ya,” ujarku. Si anak hanya menggeleng, “Eh, nggak Sensei, nggak apa-apa kok,” lalu si anak mengurungkan niatnya untuk lanjut mengecas, hehe. Jahat banget ya saya. Di saat tengah mengajar, ada juga seorang siswa yang mengambil foto saya secara diam-diam dengan tabletnya, yang sontak saya minta dia untuk menghapusnya.

Pengaruh gadget ini sangat besar dalam proses KBM. Anak bisa dengan mudah mencari jawaban dari tugas yang saya berikan. Seperti misalnya, waktu saya menugaskan mereka untuk menyalin huruf Romaji dari teks Hiragana lagu Doraemon, mereka dengan cerdiknya gugling dan mendapatkan teks lagu latinnya di internet. Dari pengalaman saya mengajar selama kurang lebih 3 bulan ini, saya sadar generasi sekarang tidak cocok dengan sistem pendidikan yang ada. Sebenarnya ilmu bisa mudah mereka dapat lewat kecanggiha teknologi yang mereka miliki, namun keinginan mereka untuk mencari ilmu itulah masalahnya. Nol BESAR.

Setiap sesi motivasi di pendahuluan saat mengajar, saya pernah menyampaikan cerita ikan, guru, dan murid-murid yang kelaparan (analogi ini saya kutip dari Dorama Jepang: Dragon Zakura). Saya gambar besar-besar di papan tulis ilustrasi pantai, satu orang guru dan 3 orang murid, alat pancing, dan ikan yang berenang di lautan.

“Di tepi laut ada seorang guru dan 3 orang murid. Murid-murid ini kelaparan, sang guru bisa memancing dan alat pancing sudah tersedia. Jika kalian yang jadi guru tersebut, apa yang akan kalian lakukan?”

Murid-murid sahut menyahut menjawab pertanyaan saya tersebut,
“Mancing, Sensei. Terus ikannya dikasih.” <-- jawaban umum
“Emang nggak ada minimarket ya, Sensei?” <-- jawaban yang suka belanja
“Ikannya ikan apa, Sensei? Banyak atau nggak? Nanti makan ikannya kayak gimana, Sensei? <-- jawaban tipe Bani Israil (Al-Baqarah).

Namun ada satu orang murid dari 5 kelas yang saya ajar menjawab dengan tepat.
“Sensei mengajarkan mancing, nanti murid-muridnya bisa mancing sendiri.” Nah.

“Begitulah tugas Sensei, kami tidak serta merta begitu saja memberi kalian ikan. Ikan dalam proses KBM sama dengan ‘ilmu’. Kalau ada seorang guru yang begitu saja memberikan ikan, maka secara tidak langsung dia telah meremehkan kemampuan murid-muridnya.”

Anak mengangguk-ngangguk.

“Lalu apa hubungannya cerita ini dengan kalian, para siswa? Analogi ini ternyata hanya berlaku untuk guru.”

Beberapa anak sahut-menyahut memberikan pendapat.
“Dalam memancing murid harus sabar. Dalam menuntut ilmu pun kita seperti itu.”
“Harus mau belajar mancing, Sensei, biar dapet ikan.”

Pendapat anak-anak saya respon dengan ungkapan, “Good, bagus. Betul, ada yang lain? Ada hal yang paling mendasar jika kita mau dapat ikan.”

Setelah anak-anak tak ada satu pun yang berpendapat lagi, giliran saya mengungkapkan pendapat saya, “Bahwa, kalau mau dapat ikan harus kelaparan dulu.”

“Seperti yang sering kalian alami sekarang, kalian sebenarnya sedang belajar memancing, tapi kalian tidak lapar. Dapat ikan juga nggak akan dimakan.”

“Makanya Sensei sebenernya lebih milih ngajar di lembaga kursus bahasa Jepang dibanding SMA kayak gini. Hee. Toh orang-orang yang kursus itu orang-orang yang kelaparan. Kalau di SMA kan kalian laparnya beda-beda. Ada yang nggak lapar, ada yang laparnya pingin makan ikan Fisika, ikan Seni, dan lain sebagainya.”

Anak-anak mengangguk tersenyum. Semoga mereka sadar betapa pentingnya rasa lapar.

Ketika mereka sangat lapar, bagi anak-anak di zaman sekarang bukan tidak mungkin belajar memancing sendiri. Anggaplah gadget yang mereka pegang itu seperti alat mancing otomatis yang siaga menangkap ikan 24 jam! Ah, betapa banyak ikan ilmu yang bisa mereka tangkap dalam sehari. Asal syaratnya: Lapar.


Zaman telah berubah, adalah suatu hal yang sangat mungkin jika sistem pendidikan di masa depan terlaksana di kelas-kelas maya berskala Internasional. Saya kadang sedih ketika melihat anak-anak hanya menggunakan gadget mereka untuk sekedar BBM-an, twit-twit alay, atau apdet status, padahal di saat yang sama mereka bisa belajar kosakata bahasa Perancis, Spanyol. END <-- ending yang amat geje.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Situs Download dan Baca Komik Gratis

Kotoba #2 ほっといて!  (Hottoite!)