Ujian PPL : What exactly am I Worrying About? Part 2
This is d-Day.
Day of war.
Haa,
begitulah kira-kira pikiranku sehari sebelum ujian. Seperti yang kuceritakan
sebelumnya, pada mulanya aku merahasiakannya dari para siswa kelas X9 bahwa aku
akan ujian di sana. Namun setelah dipikir-pikir, pasti mereka akan marah begitu
tahu Afi Sensei membohongi mereka dan membawa 3 orang guru ke dalam kelas untuk
memperhatikan mereka, akhirnya aku memberitahukan mereka di hari Senin.
Respon
mereka? di luar dugaan, santai, sambil bercanda mereka hanya bilang, “Mau ujian
di sini? Tenang aja Sensei, asal siapin makanan.”
Satu orang siswi menghampiriku, “Sensei deg-degan nggak mau
ujian?”
“Ng, deg-degan nggak ya? tapi asa biasa aja.” ujarku
“Kok jadinya aku yang deg-degan ya, Sensei?” cemasnya sambil
mengelus dada. Haa.
Foto bareng usai ujian bareng anak-anak @Xsembilan15 |
HARI Ha
Pakaian
sudah kusiapkan malam harinya. Setelan guru lengkap kukenakan (tidak seperti
biasanya) plus badge nama yang bertengger manis di kerudung putihku. “Tumben
bu, pakai pakaiannya rapih,” celetuk rekan PPL yang kurespon dengan nyengir.
Oke, penampilan sudah rapih. Lalu, dari tahajjud hingga dhuha tak lupa
kupanjatkan rabithah sambil membayangkan wajah murid-murid kelas X9, dosen
pamong, dan guru pamong :D Rabbii, yassirlii.
Jam
11.30 aku mulai ujian. Para penguji datang terlambat karena makan siang dulu.
Sebelum ujian dimulai aku pergi duluan ke kelas X9 untuk menyiapkan kursi dan
meja untuk penguji. Betapa kagetnya aku ketika mendapati bahwa kondisi kelas
sama seperti biasanya: berantakan, jus dan makanan di atas meja, kursi dan meja
tidak rapih. Meskipun kuumumkan saat itu bahwa sekarang juga aku akan ujian,
respon mereka tidak seperti yang kuharapkan. Beruntung beberapa siswa yang
kuanggap paling aktif di kelas dengan sigap membantuku, dari mulai merapikan
meja, menyiapkan kursi untuk penguji, hingga meminta rekan-rekan yang lain
untuk membantuku.
Sip,
setidaknya kondisi fisik kelas sudah rapi.
Aku
memulai pelajaran, tak lama setelah itu para penguji masuk. Anak-anak seketika
itu juga berubah sikapnya 180 derajat. Yang biasanya acuh tak peduli, tiba-tiba
jadi rajin mengangkat tangan dan berani membuat contoh kalimat. Siswa mendadak
berebut untuk membuat contoh kalimat dari materi yang kuajarkan saat itu.
Padahal
aku tidak meminta mereka untuk aktif, aku hanya bilang, “Nanti ada beberapa
penguji di sini. Sensei mohon kalian simpan dulu gadget kalian, dalam 2 jam
pelajaran ini masa depan Sensei akan ditentukan. Percaya atau tidak, masa depan
studi Sensei ada di tangan kalian.”
Haa,
dengan muka agak melankolis aku mengucapkan itu. Dramatis, tapi memang benar
begitu.
Dan hari itu pun terlalui dengan penuh haru. Setelah ujian,
cengengku muncul, mataku berkaca-kaca.
“Sensei, jangan nangis, kalau nangis bersandarlah di
pundakku.” <-- hueks -_-
“Sensei, kan ada aku, jangan bersedih.” <-- -___-
Aku lantas meminta kritik dan saran dari mereka dalam
selembar kertas. Mereka benar-benar jujur dalam hal ini :D
Sensei terlalu baik, kurang tegas, udah gitu nggak bisa marah. (Hiks, jadi ini sebabnya aku sering tertindas?)Sensei jangan cepet-cepet kalau nerangin, aku jadi pusing. (Maaf ya, karena aku orang visual, sekumpulan ‘kata’ udah muncul duluan di otak, begitu disusun di lidah jadinya kacau*ngeles)Sensei suaranya cempreng. (maaf ya, bawaan dari orok :D)Sensei ngajarnya enak, udah gitu terlalu baik. (Yah, aku tahu aku baik hati, hehe)Sensei aku suka pas kita nyanyi lagu Doraemon. (Aku pun!)Sensei, sensei telah membawa perubahan di kelas ini, aku jadi suka bahasa Jepang! (Waw! aku nggak nyangka sehebat ini, nyehehe)
Berkat
kritikan dan masukan dari mereka ini, perlahan aku mengubah cara mengajarku,
terutama cara bicaraku saat menyampaikan pelajaran. Aku pastikan kalimat sudah
tersusun rapi dalam otak sebelum keluar dari mulut dengan perlahan-lahan. Jika
biasanya aku menerangkan, “Jadi hari ini setelah tadi kita belajar nama-nama
mata pelajaran, kita akan mengungkapkan kesannya.” Sekarang kalimatnya menjadi
lebih rapi, “Nah, hari ini kita akan belajar bagaimana sih cara mengungkapkan
kesan terhadap suatu mata pelajaran dengan bahasa Jepang.”
Beda
bukan?
Dari
PPL ini aku belajar banyak malah bukan dari guru atau dosen pamong, tapi dari
murid-muridku yang jujur akan kekurangan Senseinya yang satu ini.
Setelah
ujian PPL ini, aku benar-benar bertanya pada diri, menyindir diri sendiri akan
kekhawatiran-kekhawatiran yang sempat muncul sebelum ujian PPL, “Hey, Fie. WHAT
ARE YOU REALLY WORRYING ABOUT?”
*senyum* .... “IT WAS
NOTHING.” #tsahh
Komentar
Posting Komentar